Keputusan

421 124 1
                                    

Kasian juga sih sama Yohan, di gak ngapa-ngapain, tapi malah di salahin.

-Dhea Andita Younendra-


Saat di tinggal papah, sama mamah, gue sama Wonjin banyakan diem. Dari tadi dia mainin hpnya mulu, gue di kacangin, rese banget emang tuh bocah.

"Wonjin," panggil gue.

"Iya?" Jawabnya langsung ngalihin pandangan dari hp ke gue.

"Ada yang bisa saya bantu?"

"Nggak, lo udah kaya resepsionis aja elah." Wonjin cuma kekeh-kekeh pelan.

"Terus kenapa manggil saya?"

"Nggak, ya gue ngerasa gabut aja. Dari tadi lo liatin hp mulu, gue gak di ajak ngomong."

"Haha.. maaf, saya lagi balas pesan dari kakek," jelas Wonjin.

"Gue kira dari pacar lo, atau gebetan gitu," sela gue.

"Saya gak punya pacar, dan gak mau pacaran. Gebetan? Buat apa saya bales pesan ari gebetan? Orang dia juga lagi di depan saya."

Gue refleks nabok bahu si Wonjin yang lagi ketawa pelan. Manis sih, tapi nyebelin.

"Jangan pegang-pegang dong. Kita belum muhrim," protes Wonjin.

"Ya lagian lo sih, ngalus mulu jadi orang," dengus gue.

"Iya maaf-maaf." Ucap dia.

"Saya cerita ke kakek soal kamu loh," ucap Wonjin tiba-tiba.

"Ha?? Gak salah lo? Ngapain nyeritain gue ke kakek lo?"

"Ya karena saya dapet temen perempuan kaya kamu."

"Emang gue aneh sampe lo ceritain?"

"Ya a-"

"Dhea??" Suara berat itu motong ucapan si Wonjin.

Yohan lari dari ambang pintu ruangan gue. Dia langsung meluk gue gitu aja.

"Astagfirullah." Gue liat Wonjin langsung nutup matanya, terus bangkit dari tempat duduknya dan ngebalikin tubuh biar ndagep ke tembok. Ampun deh.

"Han, lepasin gue." Berontak gue secara halus, gue agak risih aja gitu di peluk Yohan di depan Wonjin.

"Kenapa? Lo gak mau di peluk pacar sendiri?" Tanya Yohan agak gak suka sama perlakuan gue yang gak biasa.

"Gaenak ada Wonjin."

"Yaudah si, dia kan gak liat inih."

"Tapi kita bukan muhrim. Kata Wonjin, kalo cowo sama cewe berpelukan sebelum muhrim, itu gak boleh. Boro-boro pelukan, saling nyentuh aja gak boleh," cerocos gue dengan polosnya.

Yohan ngerutin alisnya sambil natep gue heran. Gak lama dia senyum manis ke gue. "Lo udah jadi orang islam?" Tanya Yohan ngusap kening gue.

"Yohan, gak boleh, belum muhrim!" Ucap gue sedikit teriak karena kesel.

Yohan terkekeh. Ahhh kok pacar gue jadi manis gini ya? Aneh banget deh.

Mata gue gak sengaja nangkep bayangan cewe di kaca pintu ruangan gue. Bukan badannya oke, tapi cuma kepalanya. Gue kaya kenal dia, gak asing, tapi siapa?

Pas cewe itu tau gue ngeliat ke dia, dia langsung narik kepalanya buat gak ngintip ke ruangan gue.

"Lo ke sini sama siapa?" Tanya gue ke Yohan.

"Ha? Gu gue, sendiri kok kesininya."

"Oh gitu."

Yohan jawabnya kaya aneh aja gitu.

"Wonjin!" Panggil gue. Terus dia ngebalikin badan ke arah gue.

"Iya?"

"Ngapain ngadep ke tembok terus?"

"E-enggak, saya kira kalian masih pelukan tadi."

"Nggak, udah dari tadi kok kita lepasin."

"Oh iya."

Ini lagi, si Wonjin kaya kaku banget ngomongnya.

"Lo kenapa bisa masuk rumah sakit?" Tanya Yohan.

"Ke srempet motor tadi."

"Ke srempet motor sampe masuk rumah sakit?" Tanya Yohan kaya ngeremehin gitu. Gue langsung aja mukul lengan dia.

"Awh! Katanya bukan muhrim, kok mukul-mukul?"

" Lah lo sih! Pake acara ngeremehin gue gitu. Lo pikir ke srempet motor itu kaya jatuh dari pohon mangga? Ini ceritanya beda."

"Coba ceritain." Tantang Yohan.

"Tadi pas di srempet motor, gue jatuh tapi guling-guling gitu. Terus kepala gue kena batu kayaknya. Langsung di bawa kesini deh sama Wonjin."

"Kalian gak pegang-pegangan kan?" Tanya Yohan. "Tuh orang gak modusin lo kan?"

"Paan sih! Bukannya terimakasih malah nuduh-nuduh ke Wonjin," bela gue.

"Maaf, saya gak pernah berpikiran buat modusin Dhea, saya sudah meminta maaf dan meminta izin kepada Allah untuk mengikatkan dasi di kepala Dhea agar darahnya tidak semakin banyak yang keluar." Wonjin buka mulut.

"Oh,"

"Assalammualaikum."

"Waalaikumsalam," jawab kita bertiga serempak.

Mamah sama papah dateng setelah sekian lama keluar.

"Lama banget sih mah, pah?" Cibir gue.

"Maaf, tadi terlalu asyik ngobrol sama dokternya." Jawab mamah.

"Kamu ngapain kesini?" Tanya papah ke Yohan.

Papah sama mamah emang gak terlalu suka sama Yohan karena menurut mereka, Yohan bawa pengaruh buruk ke gue. Kaya misalka main malem, suka ngajak jalan-jalan sampe pulang larut. Padahal Yohan udah buat gue bahagia banget ke gue.

"Maaf om, saya cuma mau jenguk Dhea."

"Mana? Katanya kamu mau jagain Dhea? Tapi Dhea masuk rumah sakit, kamu malah baru ke sini."

"Yohan udah dari tadi mah," balas gue sedikit membela.

"Maaf tante, saya juga baru denger berita ini dari Yeji."

"Alasan saja, saya tidak mau melihat kamu disini, sudah kamu pergi saja." Papah ngusirnya halus, tapi dingin plus nyelekit.

"Oh iya mulai saat ini kamu gak usah nemuin Dhea, karena Dhea bakal masuk asrama." Ucap mamah.

Seketika gue, Yohan, sama Wonjin langsung natap ke mamah gak percaya.

"Asrama?" Tanya gue.

"Tapi tante?" Yohan dikit nego.

"Gak ada tapi-tapi an, sekarang kamu keluar dari sini dan jangan temuin Dhea lagi."

Yohan cuma pasrah aja. Lalu, dia pergi, sebelum pergi Yohan meminta bersalaman sama papah sama mamah, tapi mereka cuek aja. Segitu jeleknya Yohan dimata nyokap bokap gue?

𝐁𝐔𝐊𝐀𝐍 𝐔𝐒𝐓𝐀𝐃𝐙 [✓]Where stories live. Discover now