5

285 36 0
                                    

6 bulan telah berlalu

Kehidupan Jiro bukan main padatnya. Atau mungkin memang ia sengaja menyibukkan diri. Wisuda telah berlalu, beruntung ia sudah mendapatkan pekerjaan tetap sebelumnya.

Saburo sudah mulai kuliah, seperti yang di perkirakan ia mendapat beasiswa. Mendaftar ke jurusan teknik komputer. Dan anak sok mandiri itu memutuskan tinggal di asrama.

Ichiro dan Samatoki kini hanya tinggal berdua, karena Nemu sudah lama pindah dan tinggal sendiri di California, tuntutan pekerjaan. Meskipun Samatoki yang membelikan apartemen untuknya.

'Kurasa di Jepang bunga Sakura sudah bermekaran. '

Lagi, dan lagi, Jiro selalu mengenang kembali hal-hal yang telah lama berlalu. Tapi mungkin, ia memang merindukan kampung halamannya. Sayang sekali ia tidak akan kembali.





Karena Yamada Jiro, sudah tidak ada lagi.




Klakson mobil menyadarkannya dari lamunan.

"Hey!! Look where you going, idiot!?

"Ah! So, sorry! "

Jiro kembali menyusuri trotoar, memilih rute yang lebih sepi. Berjaga-jaga kalau nanti ia melamun lagi.

Chicago, dengan segala hiruk pikuknya membuat Jiro terlena akan kesibukan sebagaimana orang dewasa pada umumnya.

"Aku pulang.. "

Sunyi. Tentu, dia hanya sendirian di apartemen berukuran 9x12 itu. Tas belanjaan di letakkan di meja makan. Mungkin nanti ia akan memasak makan malam, mie instan tidak terlalu baik untuk kesehatan apalagi dirinya seorang instruktur olahraga. Meski kadang letih membuatnya ingin segera mandi dan tidur.

Kamarnya yang tidak begitu rapi namun juga tidak berantakan terasa lebih sunyi. Jiro hanya menghabiskan waktu kurang dari 8 jam di dalamnya, sisanya ia habiskan di luar rumah. Sesekali membantu sang kakak bekerja di akhir pekan atau saat sedang libur.

Kakinya tidak sengaja menendang kardus yang belum sempat ia bereskan meski sudah berbulan-bulan ia tinggal di sana. Malasnya belum hilang ternyata.

Sambil mengeringkan rambut, ia mengemasi buku-buku yang berserakan di lantai. Sedikit bernostalgia dengan masa kuliah yang membuatnya uring-uringan terlebih saat ujian akhir.

Segunung laporan yang tidak pernah berhenti mengalir serta jurnal atau buku materi yang bahkan lebih tebal dari isi kantongnya.

Meski suami kakaknya itu tajir melintir, mana sudi ia mengemis, sekedar minta tolong saja najis. Ego dirinya tidak terima.

Mengenakan pakaian, ia beranjak ke dapur memasak makan malam. Menikmati sunyinya rumah meski tetangga sebelah kadang ribut dengan suara yang aneh dan tidak ingin dia ingat.

~

Kembali ke kamar, Jiro menatap tumpukan kardus dekat rak buku tinggi tak jauh dari tempat tidur.

'Lebih baik ku bereskan selagi aku sempat'

Menyusun satu per satu, menyingkirkan debu di sampul depan saking lamanya buku itu tidak tersentuh oleh tangan.

Jiro bertanya-tanya, sejak kapan ia gemar membaca? Jiro lebih senang menenggelamkan diri di antara chord dan nada ketimbang buku-buku tebal yang bisa di pakai untuk menimpuk Saburo walau ia sendiri belum pernah melakukannya.

Sepucuk surat luput dari pengamatannya terjatuh di atas karpet hitam. Warna amplopnya bahkan sudah menguning, entah sudah berapa lama ada di sana.

"Surat? Sejak kapan? Apa terselip di buku yang tadi? "

Memungutnya, Jiro beranjak untuk duduk di tepi ranjang. Mengabaikan satu dua kardus yang belum ia bereskan.

Mengamati namanya di amplop, seperti di ketik dengan mesin kuno, Jiro heran.

' Memangnya ini tahun berapa? Masih saja ada yang menggunakan mesin ketik, terlebih menulis surat kuno begini '

Mengabaikan pertanyaan-pertanyaan, Jiro membuka surat itu perlahan. Beberapa lembar kertas dengan tulisan tangan, isinya di tulis dalam bahasa Jepang, dan lumayan rapi.

Sekarang Jiro hanya perlu memutar otak untuk beberapa kanji yang mungkin ia sudah lupa. Baris pertama membuat Jiro tercengang,

Yamada Jiro

Ayo menikah denganku.



To be continued

HomeWhere stories live. Discover now