1. Perang

304 75 166
                                    


WARNING
Mohon maaf mungkin tulisan ini akan banyak perbaikan dari Author. Author juga menerima kritik dan saran. Author cuma pengen dipahami aja. Buat cerita macam ini sungguh mengiris hati.

******
Perang...perang...perang....!
Suara tembakkan bertalu-talu. Kemudian disahut dengan jeritan perempuan dan anak-anak. Di mana-mana darah mengenang dan menggumpal seperti adonan kurang ulenan, amis, dan anyir. Peluru meluncur dengan kencang menuju seorang lelaki remaja, tepat menyentuh dahi sampai tembus kepala belakang. Lalu beberapa kepala tergeletak seperti bola yang sudah usang.

Hancur sudah dunia yang sebelumnya sudah hancur. Api dan asap di mana-mana. Jasad bocah mungil tak bernyawa berusia lima tahun matang terpanggang. Sedangkan di sampingnya, duduk lunglai seorang ibu penuh putusasa melihat putra pertamanya menjadi matang terpanggang. Jiwanya terguncang dan patah arang. Air matanya bukan lagi mengenang. Tapi hatinya pun berdarah.

Belum juga ibu itu diberi kesempatan meresapi kepergian anak mungilnya yang telah menjadi daging panggang. Lalu dengan satu tebasan dari arah belakang. Kepala ibu bocah itu telah terpisah dari tubuhnya. Terkelepar dengan muncrat darah segar keluar dari lehernya. Sedangkan kepalanya menggelinding satu meter dari tubuhnya.

Entah apa yang menyenangkan dari pertumpahan darah. Padahal aroma darah tentu berbeda dengan aroma mawar merah, kendati warnanya sama. Barangkali kedua aroma itu serupa tetapi dengan sifat yang berbeda. Keanyiran darah mungkin berasa mengairahkan bagi orang-orang tertentu. Lebih menggairahkan dari sekadar bau wanita atau feromon pria yang menarik kelenjar hormon perangsang. Bukankah seperti itu peperangan? Mempunyai daya rangsang demi memikat ambisi yang diinginkan.

Lama juga peperangan tidak mencuat. Lebih dari tiga ratus tahun, tidak ada yang menjunjung senjata kepada saudara sesamanya. Memang dikira peperangan sudah tidak lagi menjadi isu sakral saat manusia sudah kehabisan angka populasi dirinya begitu banyak. Tentu peperangan hanya akan menghabiskan jumlah mereka. Itu bukan ide yang cemerlang.

Manusia zaman ini tidak begitu bergairah untuk berkonflik. Masuk akal juga. Ketika Manusia sedikit, konflik pun sedikit. Konflik hanya timbul antar kelompok suku apabila mempertahankan wilayah sumber makanan saja. Itu pun sangat jarang terjadi.

Sekilas terlihat mereka malah konsen pada usaha meningkatkan populasi mereka. Meski dengan susah payah, Meski hidup di dunia yang serba penuh dengan sisa-sisa kehancuran dari peradaban, meski hidup di dunia yang lebih suram dan juga sulit menemukan sumber alam. Tetapi kehidupan mereka ratusan kali lipat lebih damai dari kehidupan di masa lalu pada era modern. Tunggu! ini terasa penghinaan. Entah harus tertawa atau terhina. Cukup direnungkan kalau mampu merenung.

Namun situasinya berbeda sejak malam bulan merah datang. Satu bulan lalu. Datang pasukan tak dikenal, mengenakan jirah berwarna perak menutup rapat seluruh tubuh mereka. Kepalanya mengenakan semacam tudung atau topeng seperti astronot hanya saja lebih ramping dan terdapat filter atau masker udara.

Pada jirah mereka, tepatnya di bagian dada sebelah kiri, bergambar semacam segitiga merah di lilit kobra. Gambar itu pun sama dengan gambar bendera yang selalu dipegang oleh beberapa orang di antara mereka yang berada di barisan belakang. Merekalah yang menyulut peperangan.

Masih belum diketahui motif dan asal usul mereka. Tetapi mereka berhembus seperti wabah yang merenggut nyawa siapapun yang ditemuinya. Mereka juga memiliki senjata yang sudah dianggap musnah dan hilang sejak abad dua puluh satu, yaitu senjata api, bedil, senapan, atau apapun itu namanya. Tentu dengan senjata semacam itu, mudah bagi mereka melibas musuh yang ada. Orang-orang menamai mereka sebagai bangsa Arba, sebab kebiasaan mereka meneriakkan kata "Arba"sebagai jargon penyemangat.

Kala itu, ketika peperangan saling berkecamuk seperti cemeti petir di atas langit dengan medan tempur berkulumunimbus. Dua bocah berlari dengan napas yang terjungkal-jungkal. Raut wajah mereka terlihat membiru di situasi penuh ketegangan.

The Last War (Perang Terakhir)Where stories live. Discover now