Satu

402K 9.2K 230
                                    

Edisi pindah rumah. Ini cerita pernah aku tulis di akun lain. Responsnya juga bagus, tapi aku kesulitan bagi waktu buat mampir ke sana.

Susah harus bolak-balik ganti akun.  Makanya aku putuskan buat up di sini dengan harapan cepat selesai.

Sekedar bocoran aja ini cerita sudah ada sejak awal tahun. Antara februari dan maret. Lama banget ya, yang lain aja udah pada tamat di sini. Huhuhu sedih 😭😭 

Jadi selamat membaca, somoga pada suka 😘😘

"Tuan," kata Rara bergetar melihat Darka ada di dekatnya. Wajahnya pucat, tubuhnya melemas. Tahu jika dia telah berbuat satu kesalahan yang amat fatal. "Maafkan saya, Tuan."  Jatuh terduduk, dia bersujud memohon ampunan sang tuan rumah yang menatapnya dengan tajam. "Maafkan saya, saya benar-benar tidak sengaja." Rara tersedu, air matanya mengaliri pipi dengan deras. Tubuhnya bergetar karena ketakutan.

Sumpah mati Rara sangat menyesal. Dia tanpa sengaja telah menjatuhkan guci-guci antik dan langka yang baru dibeli sang Nyonya beberapa hari lalu. Guci-guci berharga ratusan juta atau bahkan milyaran itu langsung hancur begitu menyentuh lantai.

"Mohon ampunannya Tuan." Rara menyatukan kedua tangan, dia kembali bersujud memohon ampun dari Darka yang menjadi saksi mata kecerobohannya malam ini.

Guci-guci itu sangat berharga, sang Nyonya begitu kesulitan untuk  mendapatkannya itu, bahkan sang Nyonya mengadakan pesta meriah, mengundang teman dan rekan kerja untuk memamerkan keberhasilannya mendapatkan benda kuno itu.

Namun sekarang, karena kebodohannya Rara telah merusak barang senilai ratusan juta.

"Tuan." Rara merintih, dia benar-benar memohon ampunan. Mengemis belas kasihan sang tuan rumah.

Namun Darka tetap terdiam, dia berdiri bersandar di tembok, menatap Rara yang tak berdaya dengan tajam. Lalu langkahnya melambat, dia menghampiri gadis itu dengan irama tenang.

"Kau tahu, seberapa berharganya guci-guci itu untuk Mama?"

Rara mengangguk, air matanya mengalir semakin deras.

"Bagaimana jika Mama tahu benda kesayangannya, yang perlu bertahun-tahun untuk mendapatkannya rusak karena kecerobohan seorang pembantu?"

"Maaf." Rara merangkak dia bersujud di depan Darka. "Maafkan saya."

"Maaf saja tidak akan cukup untuk mendapatkan guci-guci itu kembali."

Darka menatap Rara tajam, sungguh dia tak mengerti apa yang dilakukan pembantunya ini di tengah malam begini. Berkeliaran di dalam rumah dan merusak benda kesayangan sang Mama.

"Tiga hari lagi Mama akan datang untuk memindahkan guci itu ke rumahnya. Menurutmu apa yang terjadi jika Mama tahu guci itu telah hancur?"

Rara menggeleng, dia bisa membayangkan dirinya akan berakhir di dalam jeruji besi atau mendapatkan siksaan dari sang Nyonya yang memiliki wajah tak ramah.

"Tuan tolong saya, saya akan melakukan apa pun untuk mendapatkan guci penganti."

Darka tertawa. "Kau bodoh atau apa?" kata Darka sinis. "Guci itu sangat mahal dan sangat sulit dicari. Bisa apa pembantu sepertimu mendapatkannya?"

Rara tidak tahu, tapi dia tidak mau berakhir dalam penjara atau mendapat siksaan fisik. Dia sudah cukup kenyang mendapat siksaan fisik di masa lalu, jangan lagi. Jangan sampai hal itu terjadi lagi padanya. Rara tidak akan sanggup.

"Tolong saya Tuan, tolong saya." Menangis hanya itu yang bisa Rara lakukan. Dia tidak punya uang,  gaji hasil kerja selama ini sudah habis di kirim ke kampung halaman. "Tuan, saya mohon."

Berdecak, Darka berjongkok, dia menyentuh dagu Rara dan mendongakkan ke arahnya.

"Apa yang bisa kamu tawarkan jika saya membantumu?" tanya Darka menatap wajah penuh air mata Rara dengan sinis. "Tidak ada yang gratis di dunia ini." Darka menggoyang dagu Rara dan tetap menatap gadis itu tajam, menunggu jawaban.

Rara sangat kebingungan, apa yang bisa ia tawarkan. Uang? Jangan bercanda, Darka yang memiliki banyak uang bukan dia.

Lalu apa?

"Tenaga Tuan," kata Rara begitu terpikir, kening Darka berkerut, tapi Rara mengabaikan. "Saya akan bekerja di sini seumur hidup saya, saya tidak akan menerima gaji sepeser pun mulai sekarang asal Tuan mau membantu saya."

Tertawa Darka melepas dagu Rara dan bangkit berdiri.

"Tuan." Rara memegangi kaki Darka, dia menggeleng, memohon agar sang tuan rumah tidak pergi.

"Saya tidak tertarik."

"Apa pun, Tuan. Apa pun yang Tuan minta akan saya beri asalkan mau membantu saya." Rara memeluk kaki Darka dan menangis di sana, membasahi celana lelaki itu dengan air mata.

Dia takut, tidak tahu harus meminta pada siapa selain pada Darka. Rara sangat berharap lelaki itu mau sedikit membantunya.

"Lepas," kata Darka menggerakkan kakinya. "Saya bilang lepas." Darka mendorong bahu Rara agar dia bisa melepaskan kakinya dari pelukan sang pembantu. Darka kembali berjongkok, dia mengangkat dagu Rara, menatap wajah Rara dengan teliti.

Tidak ada yang spesial dari Rara, dia gadis berusia kurang lebih 19 tahun. Kulitnya putih, hidung sedikit mancung dan matanya sedikit kebiruan. Hal yang paling menarik dari Rara hanya satu, dia memiliki tubuh ideal impian banyak wanita.

Pertama kali mereka bertemu empat tahu lalu, saat Darka datang bersama istrinya yang tengah mengandung. Waktu itu Rara masih gadis ingusan, selalu bersembunyi di balik pakaian Bi Asih, pembantu di rumah sang Mama.

Lalu mereka berpisah lama, tidak pernah bertemu lagi sampai sebulan lalu, saat dia memutuskan kembali ke kota ini bersama putri kecilnya.

Entah bagaimana caranya, Rara menjadi pembantu favorit Disha, anaknya yang masih berusia 3 tahun.

Kedekatan itu terpaksa membuatnya mengambil Rara untuk diperkerjakan di rumah pribadinya. Jauh dari rumah utama.

Awalnya berjalan lancar, pekerjaan Rara bersih, masakannya juga lumayan dan yang terpenting anaknya semakin bahagia. Namun, malam ini Rara mengacaukannya, pembantu yang biasanya bekerja dengan super hati-hati ini sudah membuat kesalahan sangat  besar.

"Tuan."

Darka kembali menatap Rara, dia bergantian menatap bibir dan mata gadis itu. Lalu menyeringai, dia mempunyai ide yang sangat menguntungkan.

"Jadi simpanan saya, kamu mau?"

Rara menggeleng, dia menepis tangan Darka dan beringsut menjauh.

"Bagaimana?"

"Tidak. Saya tidak sudi," kata Rara menatap Darka horor. Dia memeluk lutut, melindungi diri dari tatapan Darka yang mengintimidasi "Sampai mati saya tidak sudi menjadi simpanan Anda."

Menatap Darka tajam, Rara tidak menyangka tuan rumah yang dia kira memiliki wibawa tinggi bisa berkata seperti itu.

"Terserah kalau tidak mau," kata Darka bangkit sembari menggidikkan bahu tidak peduli. "Jika kamu tidak mau menjadi simpanan saya, tidak akan ada bantuan sama sekali."
Menatap Rara sinis, Darka berjalan meninggalkan gadis itu seorang diri.

"Tuan," panggil Rara begitu Darka hampir menghilang dari pandangannya. "Apa tidak ada cara lain?" Ratap Rara sangat memohon agar Darka bisa memberi bantuan tanpa memintanya menjadi simpanan.

Menggeleng, Darka berkata tanpa berbalik. "Menjadi simpanan saya itu yang saya minta," katanya kembali melangkah, benar-benar meninggalkan Rara dalam dilema.

Menangis, meraung hanya itu yang bisa Rara lakukan peninggalan Darka. Dia mengutuk Darka yang memintanya menjadi simpanan lelaki itu. Mengutuk kecerobohannya yang membuat dirinya terjebak dalam pilihan sulit.

"Ya Tuhan." Rara merintih, pikirannya buntu. Lalu saat melihat pecahan guci tajam di dekatnya, Rara merangkak dan mengambil pecahan tajam tersebut. Mati lebih baik dari pada menjadi simpanan Darka.



Gimana? Penasaran sama kisah selanjutnya?

Rara Where stories live. Discover now