Sembilan

154K 6.9K 321
                                    

Sepeninggalan Darka, Rara terpekur seorang diri. Air mata perlahan menetes tanpa bisa di jegah lagi. Dia menggigit bibir, menahan agar isakan agar tak tertendar oleh tekingan sendiri. Namun, rasa sakit di hati membuatnya tak kuasa menahan diri lagi. Rara meringkuk seperti janin, terisak dengan begitu menyedihkan.

Kabar bahagia harus di barengi kabar duka. Dia baru mengetahui hamil setelah kehilangan calon anaknya.

Andai saja dia tidak ceroboh, pasti anaknya masih ada sampai sekarang. Tidak apa jika Darka tak mau menganggap anaknya, dia bisa melarikan diri dari sini. Membesarkan anaknya seorang diri lebih baik dari pada harus begini.

"Maafkan mama sayang," kata Rara menyentuh perut yang masih menyisihkan rasa tak nyaman. "Maafkan mama yang gagal menjagamu. Mama memang bodoh, ceroboh dan tak bisa diandalkan."

Tangisannya semakin hebat, sakit sekali rasanya. Kehilangan ini lebih sakit dari pada tidak mendapat perhatian dari ibu kandungnya, dikatai anak haram oleh warga dan mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari para lelaki yang dekat dengan sang ibu.

Bahkan beribu-ribu kali lebih sakit dari perlakuan Darka.

Ternyata seperti ini yang namanya kehilangan. Kehilangan anak yang tak sempat di sapanya.

"Kenapa kamu gak ajak mama sayang? Mama tidak suka di sini." Rara masih menyentuh perutn. "Bolehkah mama menyusulmu? Di sini tidak ada yang menginginkan mama, tapi mama menginginkanmu. Selalu ingin dekat denganmu, jadi bolehkan sayang?"

Perlahan Rara menutup tubuh dengan selimut, mengahangi cahaya yang mengejeknya. Air matanya tak kunjung berhenti, terus menemani menghabiskan sisa hari.

                         ******

Begitu keluar dari ruangan Rara, Darka berjalan dengan linglung dan tak tentu arah. Saat berhenti dia langsung  meninju tembok di sampingnya. Tangan terkepal, Mata memerah, ingin sekali dia menghancurkan apa pun yang ada di dekatnya. Dia amat sangat marah, jantungnya berdebar dengan tak menyenangkan.

Menghela, Darka mendengkus kesal begitu teringat kembali perkataan terakhir Rara.

Ucapan yang membuat hatinya sakit, ingin mengamuk dan mengguncang-guncang tubuh tak berperasaan wanita di dalam sana.

Mereka baru kehilangan, bisa-bisanya Rara bersikap seperti itu, sialan.

Kembali meninju tembok di sampingnya, Darka mulai melangkah sebelum emosi membawanya masuk dan mencekik Rara yang tak memiliki perasaan,

Berjalan tak tentu arah, Darka duduk di kursi taman dengan pandangan kosong.

"Rara." Rintih Darka merasakan sakit. Hati kecilnya tak percaya jika wanita iti tak merasa kehilangan. Rara wanita yang cengeng, dia selalu menangis bila hatinya merasa terluka. Selama hidup dengannya, entah berapa puluh kali Darka menyaksikan Rara menangis.

Bodohnya dia percaya dan merasa marah pada istri kecil itu yang tak merasa sedih sama sekali.

Tuhan telah mengirimkan mereka seorang anak, tapi karena dosanya Tuhan kembali mengambil anak tersebut.

Di sini dia yang salah, tapi kenapa Tuhan juga membuat istrinya menderita?

Satu tetes air mata jatuh menuruni pipi, di susul tetesan lain. Darka membiarkannya, dulu dia kehilangan wanita yang dicintai. Kini dia kembali kehilangan seorang anak.

Rasa sakitnya masih sama. Sesak di dada membuatnya sulit bernapas.

Menghapus air mata, Darka bangkit. Dia saja yang memiliki hati sekeras batu sedih dan terluka saat kehilangan seorang anak, apa lagi Rara yang memiliki hati selembut sutera.

Rara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang