Liontin Ini (4)

92 3 0
                                    


Sebelumnya...

Sudah setengah hari ia ada di tempat ini. Menikmati hidup dengan menuangkan seluruh kasih sayangnya, terhadap anak-anak ini. Anak-anak yang tak sempat menikmati manisnya kasih sayang orang tua.

Hari yang begitu tenangnya pergi, telah memberikan salam kepada sang malam. Menjadikan suasana yang sedari tadi ramai. Berubah menjadi sepi legam, tak ada bunyi yang terdengar tawa dan canda. Membuat anak-anak yang tak beruntung ini tertidur lelap tanpa membawa beban hidup.

"Makan dulu mba," ucap sang penanggung jawab tempat ini. "Tapi maaf, hanya seadanya saja..."

Sebenarnya, ia lah yang beruntung mendapatkan pekerjaan mulia ini. Hidupnya yang dulu hanya sebagai penyapu makam bersama sang suami. Karena ia tak begitu beruntung mengadu nasibnya di rimba modern ini. Terlebih, setelah ia ditinggal suaminya karena sakit. Ia hidup semakin terlunta-lunta tanpa kejelasan.

Hingga ia bertemu dengan bidadari penyelamatnya. Ya benar, karena wanita inilah ia diberi tanggung jawab untuk menjaga tempat ini. Di samping menjadi ibu bagi seluruh anak-anak ini. Karena ia sendiri yang tak pernah bisa melahirkan seorang anak pun.

"Terima kasih bu. Ini sudah lebih dari cukup," ujarnya menyambut piring yang hanya terisi nasi dan tempe.

"Iya bu. Kasihan anak-anak, kalau semua makan dihidangkan untuk kami," ujarnya menambahkan kakaknya.

Mereka pun larut dalam suka dan duka. Terlebih sang ibu yang teringat dengan bantuan yang sering diberikan oleh sang dokter, dokter Reza. Karena seluruh biaya perawatan rumah yatim ini ditanggung oleh beliau. Bahkan, beliau sering sambang, seraya membawa makanan ataupun mainan.

"Bu. Apa ibu menemukan sebuah liontin dan buku diary?"

"Ngak ada lho mba. Ketika kami membersihkan seluruh rumah. Tidak ada benda yang mba maksud."

Dengan jawaban dari bu Rita. Akhirnya ia yakin, kalau semua perkataan orang-orang pesantren itu hanyalah bualan belaka. Terlebih dengan kebaikan orang tua sang kekasih. Sungguh menjadi mustahil jika si anak tak meniru perilaku orang tua. Karena buah tak mungkin jatuh jauh dari pohonnya.

Pada akhirnya pula, sang malam pun malu terhadap cahaya sang mentari. Membangunkan lentera-lentera kecil ini, yang kelak akan menjadi surya penerang bangsa. Mengukir berbagai prestasi yang akan mengharumkan tanah bumi pertiwi ini.

Perjalanan mereka berikutnya pun telah ditetapkan. Segera, langkah mereka menuju tempat tujuan. Tempat yang hanya terpisah beberapa blok dari tempatnya sekarang.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam. Ratna..."

Mereka berdua segera menyucup, mencium tangan seorang ibu yang tengah menyirami tanamannya. "Ibu. Bapak di mana?"

"Sudah berangkat pagi-pagi. Ada pasien dadakan katanya," ucap beliau segera mempersilahkan kedua tamunya ini untuk segera masuk.

"Kenalin bu... ini saudara Ratna dari Jogja."

"Anis," ucapnya ikut menyucup tangan ibu tersebut.

Beliau pun tersenyum senang, dengan perilaku santun kedua tamunya ini. "Oh ya. Baru kemarin Tofa telfon... katanya kamu sudah disini sejak seminggu yang lalu.." ucap beliau teringat kejadian yang telah lewat itu. "Kok baru kesini sekarang?"

"Anu..."

Aawww...

Secepat kilat, ia mengarahkan tangannya, mencubit adiknya yang masih begitu polos. Memberikan kode mata, agar adiknya diam. Merahasiakan perjalanan singkat mereka di pinggiran kota itu. "Iya bu.. lagi sibuk bantu-bantu rumah yatim."



Nadzom-nadzom Cinta Jilid 3 [Completed]Where stories live. Discover now