Bagian 18 Sebuah Fakta

62K 3.6K 371
                                    

Haiii.. Senangnya bisa dapat banyak vote, 2ribu lebih loh..

Part ini 2ribu lebih juga yaakkk..

***

"Kakak tidak ingin menjawab pertanyaanku?"

Ranu menoleh sebentar, menyunggingkan senyum kecil yang mengatakan 'tenanglah, itu bukan masalah besar..'

Lagi-lagi senyuman kecut itu yang Riri peroleh. Lagi-lagi sebuah pertanda kegagalan. Lagi-lagi kekecewaan.

Riri menghembus nafas berat, sedikit bertenaga oleh putus asa. Benar, rasanya ia hampir kehilangan kepercayaan diri, tak teguh hati. Hingga muncul kembali pertanyaan itu, sanggupkah mereka menikah?

"Sudah seminggu lebih sejak kita membawa Nora pulang. Sudah selama itu juga kakak berusaha menemui Papa, tapi apa? Hasilnya nihil. Tidak ada kemajuan, tetap saja Papa menolak bertemu dengan Kak Ranu." Riri menuturkan kecewa yang beralasan. Matanya menelisik jauh ke ujung jalan ibu kota.

"Mungkin kita memang tidak akan bisa menikah Kak.."

Kalimat lemah Riri mengutus perhatian Ranu. Lelaki itu tiba-tiba menepikan mobilnya hanya untuk memastikan satu hal yang tak boleh diragukan kekasihnya.

"Kita akan menikah, itu janjiku padamu." Mantap Ranu menatap Riri yang hanya sudi meliriknya. "Apapun halangannya aku akan tetap berusaha."

"Kalau begitu mari kita berusaha bersama Kak. Kita bawa Nora bertemu Papa dan Mamaku." Riri menuntut. "Mungkin dengan begitu mereka akan luluh." Lanjutnya dengan kalimat yang membuat Ranu jengah untuk kesekian kali. Lelaki yang memberinya satu orang putri itu selalu menolak mentah-mentah jika Riri menuturkan ide demikian.

"Kalau ternyata orang tuamu menolak Nora??"

Pertanyaan Ranu membungkam kekasihnya. Sebagai anak, gadis itu tahu betul bagaimana ayahnya. Bahkan sudah merasakan ketidakadilan sebuah keputusan.

Sebenarnya ia paham Ranu tak ingin Nora menyaksikan penolakan kakek dan neneknya, tapi menurut Riri tak ada salahnya mencoba. Kembali lagi, dalamnya laut dapat diukur, dalam hati manusia siapa yang tahu?

"Kita akan jadi orang tua yang jahat kalau sampai Nora punya kenangan buruk tentang penolakan orang tuamu. Jadi biarkan aku berusaha dengan caraku, cukup doakan dan percayalah padaku.." Ranu kembali meyakinkan.

"Tapi sampai kapan?" Riri meninggi.

Ranu memilih diam.

"Sampai kapan kita tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan huh?" Riri menantang. "Apa itu juga bukan hal buruk untuk Nora? Apa yang ada di pikirannya jika tahu kita tidak pernah menikah tapi tinggal bersama? Menurut kakak bagaimana psikologisnya kelak dewasa??"

Riri berhenti sejenak, melihat keterdiaman Ranu yang seakan tak acuh akan penjelasannya. Ia mengatur nafas agar emosi tak ikut campur dalam perdebatannya dengan Ranu pagi ini.

"Sampai kapan kakak akan menyentuhku tanpa menikahiku? Sampai kapan kita ada di kubangan dosa ini?" Tutup Riri melemah. Merasa menjadi serendah-rendahnya manusia.

Ranu mengabaikan. Lelaki itu justru kembali menjalankan kemudi. Memilih diam seribu bahasa hingga sampai di depan kampus kekasihnya.

Tak ada suara. Keduanya sama-sama menahan emosi. Sama-sama tahu usaha yang sudah sejauh ini tak boleh hangus karena keegoisan masing-masing. Lebih baik diam saat suhu pikiran mereka meningkat, lalu kembali bicara saat situasi redam.

***

Kantor Ranu.

Lelaki muda nan cerdas itu tampak sibuk membolak-balik kertas. Alisnya mengernyit sesekali sambil memeriksa layar laptop. Satu berkas ditutup, kembali ditumpuk lalu beralih ke berkas yang lain.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 29, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

PASSED (On Going)Where stories live. Discover now