/𝘶𝘴/

696 102 11
                                    

𝗄𝖺𝗋𝖾𝗇𝖺 𝗄𝗂𝗍𝖺 𝖺𝖽𝖺𝗅𝖺𝗁 𝗀𝖾𝗅𝖺𝗉 𝗆𝖺𝗅𝖺𝗆𝗒𝖺𝗇𝗀 𝗁𝖺𝖽𝗂𝗋 𝖽𝖺𝗅𝖺𝗆 𝗌𝗂𝖺𝗇𝗀,

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

𝗄𝖺𝗋𝖾𝗇𝖺 𝗄𝗂𝗍𝖺 𝖺𝖽𝖺𝗅𝖺𝗁 𝗀𝖾𝗅𝖺𝗉 𝗆𝖺𝗅𝖺𝗆
𝗒𝖺𝗇𝗀 𝗁𝖺𝖽𝗂𝗋 𝖽𝖺𝗅𝖺𝗆 𝗌𝗂𝖺𝗇𝗀,

-

"Sudah lama menunggu?"

Gadis itu membersihkan mantel yang ia kenakan, rambut yang berantakan agak dirapikan selagi pria yang tengah duduk menghadap laptopnya menggeleng secara samar. Mata mereka belum ada yang bertemu, namun sapaan hangat yang terjadi setelahnya mengindikasikan bahwa mereka sama-sama menghargai kehadiran satu sama lain.

"Kalau kau mau memesan minum dulu, aku akan menunggu pesananmu sampai datang. Baru kita akan berbicara." Akaashi Keiji berucap selagi menutup laptop yang berisi tugas akhir tahunnya. Kafe yang mereka masuki kali ini cukup sepi, beberapa pekerja hanya berjaga di sekitaran meja dekat pintu masuk sementara meja yang mereka tempati berada di pojok ruangan dekat jendela.

[Name] tersenyum. Lalu mengangguk selagi mengangkat tangannya ke atas. Seorang pelayan menghampiri mereka, menanyakan pesanan, lalu kembali untuk menyampaikan kopi yang dipesan dan beberapa pastry di urutan pesanan mereka.

"Bagaimana persiapan ulanganmu, Keiji?" tanya [Name] dengan nada yang biasa. Terdengar sederhana, tapi jantungnya berdetak sedemikian kencang sampai-sampai [Name] takut Akaashi dapat mendengarnya.

Akaashi Keiji menatap laptop yang dia sisihkan sehingga meja di hadapannya kosong.

"Aku sudah belajar," ucapnya agak pelan. "Bagaimana denganmu?"

Dan [Name] mengangguk lalu tersenyum simpul. "Aku juga sudah berjuang."

Dan terjadi keheningan di sana. Yang melilit lidah keduanya, dan mengunci bibir mereka rapat-rapat. Rasa sesak yang menjalar---menghalangi segala usaha yang sudah diperjuangkan untuk menghindari potensi kesedihan. Keduanya masih belum bersitatap, masih mencoba mengkokohkan dinding, dan menjaga segala ucapan yang akan terlontar.

Pria itu menghembus napas. Sedangkan gadis itu menarik napasnya panjang-panjang.

"Kita harus bicara."

Keduanya menatap satu sama lain. Manik mata mereka menabrak sisi lain, melesak ke dalamnya, terkunci di dalam kesedihan mata mereka. Akaashi Keiji terpana dengan segala keporakporandaan yang ada di dalam mata seorang [Name] sedangkan [Name] terpukau dengan kekelaman yang ada di balik netra pemuda di hadapannya.

"Aku," keduanya belum bicara semenjak terjebak di dalam mata satu sama lain. Namun [Name] bukanlah gadis yang memikirkan banyak hal. Apa yang ada di hadapannya itu nyata, apa yang dia usahakan itu ada, dan apa yang ingin dia bicarakan itu---harus disampaikan. "Aku minta maaf."

Akaashi Keiji merapatkan bibirnya. Mengubahnya menjadi segaris tipis yang mengisi wajah sendu pemuda berambut ikal tersebut.

"Aku selalu mengandalkan dirimu. Dalam berbagai kesempatan, dalam berbagai hal, aku selalu mengandalkan dirimu." [Name] menarik napasnya panjang. "Aku selalu memercayaimu, dan aku mencintaimu karenanya. Aku mencintai perasaan aman yang kau jaminkan kepada diriku ini."

Akaashi Keiji merasakan hatinya tersayat perasaan sadar akan kekecawaan pada dirinya sendiri.

"Namun tidak ada yang berbalas. Aku mencintaimu karena kau memberikan jaminan kepadaku, tapi aku tidak membalas jaminan itu. Kau tidak merasakan hal yang sama. Bersama denganku tidak pernah membuatmu merasa aman. Tidak pernah membuatmu merasa segalanya dapat baik-baik saja. Tidak pernah membuatmu lupa, akan kemampuan dirimu sendiri."

Kalimat terakhir merupakan kesimpulan dari dua tahun permasalahan yang [Name] hadapi. Akaashi Keiji itu memberikan jawaban yang jelas terhadap dirinya, tapi [Name] harus berkembang---harus tidak mengandalkan manusia lain untuk selama-lamanya.

"Aku minta maaf." [Name] masih memfokuskan tatapannya kepada Akaashi Keiji sampai dirasa matanya basah dengan air mata. Pemuda di hadapannya masih menipiskan bibir, masih setiap menatap mata gadis tersayangnya yang tengah menangis tanpa isakan sedikitpun. "Keiji. Aku minta maaf karena selama ini mengandalkanmu yang tidak pernah dapat mengandalkan diriku."

"[Name]," panggil Akaashi dengan selembar tisu di tangan. [Name] menarik napas sebelum mengambil lembaran tisu dan mengucapkan terima kasih-nya. Akaashi menatap ke luar jendela, menenangkan pikirannya karena kali ini otaknya memikirkan banyak sekali jawaban dan penjelasan.

Dia menarik napasnya.

Lalu membuangnya dengan perlahan sambil memejamkan matanya.

"Aku... minta maaf." Akaashi tidak pernah tau kalau suaranya dapat mendadak serak seperti ini. "Aku juga minta maaf. Selama ini aku menganggapmu sebagai puzzle dan tantangan yang dapat membuat diriku lebih baik. Kau memberikan banyak sekali kesempatan, sementara aku menyempitkan kesempatan itu padamu. Aku minta maaf karena berusaha untuk mengembangkan diri, sementara aku yang malah menahanmu untuk berkembang.

"Aku selalu mencintaimu, karena hal itu. Karena kau memberikanku banyak peluang dan kesempatan. Tapi aku tidak pernah memberikanmu hal yang sama. Aku merasa terlalu egois, bahkan sampai sekarang kau memberikanku banyak pilihan untuk menjawab." Akaashi Keiji menggenggam tangan gadis di hadapannya, menatapnya dengan tatapan paling sendu yang pernah dilihat oleh [Name] kala itu. "Tapi aku hanya memberikanmu kenyataan bahwa kau mengandalkan diriku."

Saat denting bel berbunyi karena pintu kafe yang terbuka, Akaashi Keiji mengeratkan genggamannya terhadap tangan [Name] yang dingin seperti butiran salju yang baru turun tadi malam.

"Aku hanya memberikanmu kemutlakan."

Akaashi Keiji tidak melanjutkan perkataan yang dia harap keluar saat [Name] balik menggenggam tangannya. Saat gadis itu terisak dengan sendunya yang menusuk, atau saat Akaashi memeluknya untuk terakhir kalinya.

Akaashi Keiji tidak melanjutkan perkataan yang selama ini ingin dia sampaikan. Bahkan saat [Name] menghapus buliran air mata yang memenuhi wajahnya, atau saat mereka memakan kudapan yang telah dibeli.

Akaashi tidak sempat mengucapkannya.

[Name] menutup mulutnya rapat-rapat.

Ada satu kalimat yang benar-benar ingin ia sampaikan kepada Akaashi Keiji---yang walau memberikan banyak dinamika dalam hidupnya. Kalimat yang menyatakan tentang hubungan kontradiksi yang pernah mereka jalin dan pernah mereka usahakan.

Ada satu kalimat yang benar-benar ingin gadis itu ucapkan. Saat Akaashi memeluknya erat, saat mereka berteman dengan hening, saat mereka memakan kudapan yang telah matang. Kalimat yang benar-benar membisikkan segala pesan dalam hatinya.

Akaashi Keiji tidak sempat mengucapkannya.

[Name] tidak sempat menyampaikannya.

Kalimat yang menjadi penghubung antara dua insan yang selalu ingin ditakdirkan---tapi tidak pernah dapat menyatukan benang yang sudah terlilit di dalam nadi mereka. Kalimat pelengkap kisah mereka, yang akan menghadirkan manis dalam setiap antonim yang diterakan keduanya.

Saat Akaashi Keiji kembali ke mobilnya dan pergi menuju keheningan apartement-nya.

Saat [Name] kembali berjalan keluar kafe dan memanggil taksi untuk mengantarkannya menuju ketenangan rumahnya.

Bibir mereka sama-sama terbuka.

Suara mereka sama-sama keluar dengan halusnya.

Helaan napas mereka sama-sama melepaskan sesak dalam dada.

Saat mereka menatap langit yang sama, keduanya mengucapkan salam perpisahan.

Mengucapkan kesimpulan kisah mereka yang berakhir kandas.

--- "Terima kasih atas segalanya."

-

𝗒𝖺𝗇𝗀 𝗌𝖾𝗅𝖺𝗅𝗎 𝗆𝖾𝗇𝖺𝗋𝗂 𝗍𝖺𝗇𝗉𝖺 𝗉𝖾𝗋𝗇𝖺𝗁 𝗍𝖺𝗎 𝖽𝗂𝗋𝗂.

𝐚𝐦𝐮𝐬𝐢𝐧𝐠 ᎒ 𝖺. 𝗄𝖾𝗂𝗃𝗂  Where stories live. Discover now