0.2

20.7K 4.9K 902
                                    

Seperti biasa, Hyunjin berdiam diri di toilet dengan keran air wastafel yang menyala. Dia menatap pantulan dirinya.

Wajahnya cukup pucat mengingat dia belum makan selama dua hari, dia hanya minum air putih.

Helaan nafas keluar dari bibirnya. Kemudian dia membasuh wajahnya dan mematikan kerannya.

"Kapan ya gue bisa ketemu Felix sama Jisung lagi?"

"Ck, gila."

Hyunjin yang terkejut mendengar suara orang lain dari dalam salah satu bilik kamar mandi menoleh. Tak lama kemudian, keluar lah Jinyoung dari dalam sana dengan wajah datarnya.

"Percuma lo bunuh diri, yang ada dosa lo semakin banyak dan lo gak diterima di sisi-Nya."

Hyunjin mendecih sinis lalu kembali menghadap cermin. "Gue mati bukan urusan lo, gue hidupin mereka bukan urusan lo juga."

Hyunjin membulatkan matanya. Refleks dia mendunduk dan menepuk-nepuk bibirnya karena sadar kalau dia salah bicara.

"Dasar mulut, gak bisa banget dikontrol."

Jinyoung merasa aneh. Dari gelagat Hyunjin, dia merasa ada yang tidak beres dari sepupunya itu.

"Hei," panggil Jinyoung dan Hyunjin mendongak. "Semua orang pasti akan mati, tapi bukan berarti orang yang ditinggalkan harus hidup seperti lo ini. Lo gak boleh terlalu larut dalam kesedihan, lo harus ikhlas. Ya, walaupun orang bego kayak lo gak bisa ikhlas secepat itu."

Dengan kesal Hyunjin menggeplak kepala Jinyoung dari belakang sampai membentur dinding. Untung pelan, kalau tidak, Hyunjin akan dapat masalah.

"Lo berniat semangatin dan memberikan gue pencerahan atau ngeledek gue, sih?" Cibir Hyunjin lalu berjalan pergi meninggalkan Jinyoung.

Setelah kepergiannya, Jinyoung menghela nafas lalu geleng-geleng kepala.

"Hyunjin, semoga suatu hari nanti lo berhenti melakukan hal yang nanti bisa bikin lo semakin sedih."

Iya, Jinyoung tahu apa yang dilakukan Hyunjin semenjak kepergian kedua sahabatnya.


































"Hah."

Hyunjin membanting dirinya ke sofa. Sambil menatap langit-langit ruang tamu rumahnya, dia melempar tasnya ke sembarang arah dan mengenai salah satu vas bunga di atas meja.

"HWANG HYUNJIN, LO NGAPAIN HAH?! BARU PULANG NYARI RIBUT AJA LO, ITU VAS BERHARGA BUAT GUE!!!" Teriak seorang gadis bermata tajam sambil berjalan cepat ke arah Hyunjin dengan marah.

"UDAH KE SERATUS KALINYA LO PECAHIN VAS BUNGA GUE DAN SEPERTI BIASA LO HARUS GANTI!" Lanjut gadis itu sambil menunjuk Hyunjin.

"Aduh Ji, gue lagi males debat nih. Bisa pergi dulu?"

Mendengar ucapan Hyunjin, Hwang Yeji, saudara kembar Hyunjin mengernyit tak mengerti kenapa saudara kembarnya itu tiba-tiba lemas seperti ini.

"Lo belom makan? Atau lo masih mikirin tentang usaha lo itu?" Tanya Yeji dengan tatapan menyelidik.

Hyunjin melirik Yeji sekilas. "Gue kangen mereka, Ji. Gue mau merasakan hidup disaat gue bareng mereka kayak dulu lagi."

Yeji berdecak sambil berkacak pinggang. "Kenapa gue punya saudara dengan pemikiran pendek kayak lo, ya? Dengerin gue, lo begini, lo sama aja buat mereka gak tenang. Lo begini, lo bakal depresi dan berujung mati. Denger gak? MATI."

"Bentar, jadi lo pengen gue mati?" Tamya Hyunjin dengan tatapan yang sulit diartikan.

Yeji mengedikkan bahunya. "Kalau udah takdir dan ajal udah memanggil gue bisa apa."

"Lo gak takut? Lo gak sedih?"

"Masih tanya lagi lo, gue bakal sedih lah! Tapi gue gak bakal berlarut-larut dalam kesedihan kayak lo. Kalau gue jadi lo, gue bakal berusaha supaya gue bisa mengikhlaskan mereka dan hidup bahagia."

Hyunjin bungkam. Entahlah, hatinya mengatakan dia belum siap mengikhlaskan kepergian kedua sahabatnya. Tapi Yeji benar, dia tidak boleh seperti ini terus.

Namun keputusan Hyunjin sudah bulat, dia akan tetap melanjutkan usahanya agar dapat hidup bahagia.




•[Suatu hari nanti, Hyunjin akan mengungkapkan semuanya. Ya, semua usahanya.]•

[iii] Someday | Hwang Hyunjin ✓Where stories live. Discover now