5. Ingin Pulang

368 29 3
                                    


Heppy membaca!

***

"Aaaahhh ... I-i-ibuuu."

Aku menggeliat pelan. Seluruh tubuhku rasakan sakit. Kucoba mengerjap, menyesuaikan manik mata dengan cahaya temaram yang terlihat.
Tangan terangkat sedikit akan tetapi rasanya begitu sulit untuk mengangkatnya lebih tinggi.

"Sa-sa-yaa di-di-mana."

"Tenri, Tenriii ... apa kamu mendengar suara Mak?"

Kuping mendengar suara menyebut namaku. Terpaksa kupejamkan mata kembali oleh sakit yang kurasakan menghantam di kepala.

Rasanya semua kosong. Hanya sosok Ibu yang berhasil membingkai di pelupuk mata. Tenggorokan terasa kering dan persendianku jujur rasanya remuk seluruhnya.

Apa aku sudah mati?

"Saya di mana?"

Masih dengan mata terpejam, aku mencoba mengingat keberadaanku saat ini. Sia-sia. Tak ada jawaban yang berhasil melintas pula di memori ingatan.

"Hei, kemarin kakak bersamaku."

Terdengar suara khas yang melengking. Setelah istighfar dalam hati berulang-ulang, akhirnya kelopak mata kucoba membukanya pelan-pelan.

Ya, aku ingat suara itu.

"Nu-nu-raaaa," ucapku terbata-bata.

"Nah, ingat, 'kan? Ya, aku Nura, Kak. Kakak itu lagi di rumah kami. Di dusun Lape."

"Iya, sa-saya ingat. Du-dusun Lape, Nura, Bang Kanooo di mana?"

Perlahan ingatanku mengingat nama-nama itu. Ya, dusun Lape. Aku berada di dusun Lape yang misterius.

Berarti, aku masih hidup?

"Bang Kanoo? Ooo ... dia sudah pulang. Ada kerjaan dari Bapak." Nura menggenggam tanganku.

"Nak Tenri, ayo, biar Nura bantu bangun, ya. Ini, ada ramuan yang Mak Kamir buatkan tadi. Harus Nak Tenri minum biar badannya kembali seperti sediakala."

Aku menoleh ke sisi kanan, wanita dengan pakaian kebayanya itu tampak mengangkat gelas besi yang kupastikan berisi ramuan.

"Kalian menemani Tenri dulu, Bapak ke rumah Kano."

Sosok pria dengan pakaian hitamnya itu beranjak setelah memberikan senyum yang kubalas dengan anggukan.

Aku ingat. Ini rumah Pak Dusun Lape.
Tak mau berada di posisi berbaring yang kian membuat sekujur tubuhku lemah, aku memberi isyarat agar Nura membantu membangunkanku untuk duduk.

Berhasil. Aku berhasil duduk walau pun harus menyender di pundak Nura. Dengan hati-hati, Ibu Dusun mendekatkan gelas berisi ramu yang masih mengepul.

Gluk ... gluk ... gluk ...

Habis!

"Aaahhh, pahitttt, Bu," desisku setelah berhasil menandaskan ramuan dari gelas tersebut.

"Memang pahit, Nak. Tapi dengan ramuan ini, nantinya seluruh tubuhmu akan terasa ringan," balas lembah lembut Ibu Dusun.

"Dan, Kak Tenri tak perlu khawatir lagi. Kakak tidak akan kedinginan lagi kalau malam atau mendengar suara suara tawa iblis itu," imbuh Nura dengan senyum lebarnya.

Kuendikkan pundak dengan informasi itu.

"Nura, berapa lama saya tertidur?"

"Ehm ... dua hari."

Misteri Mess Anggrek [TERBIT]Where stories live. Discover now