9 - Madaka

425 25 6
                                    


***

Setelah menyimpan keranjang berisi jambu mete yang kami petik, Nenek Cunna memanggil suaminya yang ternyata tak ada di tempat. Aku menahan diri agar tidak meminum atau juga meminta makan, cukup semalam saja perut ini direcoki daging panggang yang entah daging rusa atau daging lainnya.

"Mungkin Kakek ke tambang mengambil stok daging atau bisa saja dia lagi mengintai buruannya di pinggir jalan. Kita ke sungai saja kalau begitu, Tenri."

Aku tertegun sesaat di pintu kamar saat Nenek Cunna melintas dengan ocehan anehnya. Aneh karena menyebut stok daging yang jelas kutebak adalah daging manusia kembali. Betapa banyak korban yang telah mereka bantai di abad ini. Begitu mudahnya pula mereka mendapatkan manusia untuk dijadikan tumbal semata.

"Jangan melamun, Tenri. Bisa jadi kau yang akan jadi daging santapan Tuan Muda malam nanti."
Aku tersentak oleh teriakan Nenek gila itu. Selalu menakutiku dengan hal menakutkan! Ah, semoga ikan dan udang bisa kutangkap di sungai.

"Nek, aku bawa wadah ya, buat nampung ikannya. Kali aja dapat ikan," kataku seraya berlari ke arah dapur dan mengambil wadah dari kayu yang berbentuk baskom.

"Bawa saja. Atau kalau kau mau, bawa garam biar sekalian bisa kau bakar di sana."

Tumben si Nenek Jagal baik hati? Ck! Gimana nggak baik kalau mangsa untuk Tuannya telah ia dapatkan. Aku tahu, mungkin saja aku ini benar adalah santapan si Tuan Muda yang kuperkirakan wajahnya jelek seperti pemakan manusia. Eh, tapi tunggu dulu. Kakek Compong saja tampan, bagaimana dengan Tuan Muda?

***

Mataku tak henti menengok kiri-kanan jalan saat aku dan Nenek Cunna mulai menelusuri jalanan yang beberapa hari lalu kulewati saat terdampar di hamparan padang ilalang. Aku berusaha mengingat tempat itu. Sepertinya aku memang pernah berada di sini.

Saat mulai menanjak, pohon besar yang ada di kanan jalan, terlihat daunnya yang melambai seiring embusan angin. Nenek Cunna malah kian mempercepat langkahnya.

"Jangan pandangi pohon itu. Itu ada penunggunya. Bukannya kau pernah diganggunya?"

Benar! Tebakanku benar. Ini adalah pohon itu. Pohon yang aku lewati bersama Bang Kano di alam manusia. Berarti pohon ini sudah ratusan tahun tumbuh? Astaga, sulit dipercaya.

"Nek, apa kita akan melewati hamparan ilalang tempo hari?" Aku mengejar Nenek Cunna yang menoleh ke arahku.

"Jelas. Itu satu-satunya jalan menuju sungai. Biasanya, di bagian hulu sungai, bangsa manusia dulu mempergunakan air sungai untuk kebutuhan mereka. Tapi sekarang tidak lagi."

"Kenapa?" Kini aku berdiri tepat di hadapan Nenek Cunna.

"Karena mereka semua telah menjadi tumbal tambang," bisik Nenek dengan seringaian yang kurasakan tidak mengerikan lagi.

"Huft! Tuan Muda itu yang memakannya?" tanyaku acuh.

Nenek Cunna terkekeh. "Bukan Tuan Muda. Itu jelas bukan makanan dia. Itu untuk tumbal tambang, Tenri Ajeng." Nenek menarik tanganku dan membawaku ...

Astaga, kami terbang dan aku memekik sembari mendekap pinggang Nenek Cunna yang berisi. Ini manusia yang kupastikan telah menganut ilmu setan. Demi membuang rasa takut, aku memejamkan mata saja, menghindari pemandangan yang bisa saja menakutkan.

Plaaast!
"Kita sudah sampai, bukalah matamu."
"Heh!" Aku berjengit dan membelalak. Nenek Cunna sejak tadi berdiri dengan posisi aku masih erat memeluk pinggangnya.

"Hahaha, kau benar-benar penakut walaupun di siang hari. Nenek sengaja membawamu terbang biar Tuan Muda tidak mencium aromamu. Apa kau tak tahu jika sebenarnya jarak antara rumah kayu kami dan tempat Tuan Muda tinggal itu jauh?"

Misteri Mess Anggrek [TERBIT]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora