10 - Pain

104 20 0
                                    

Aku perlahan membuka mataku. Sejak kapan aku tertidur? Aku tidak ingat apa pun. Kenapa apartemen rasanya sepi sekali. Dimana Professor yang biasa berlalu-lalang di dekatku, mengerjakan berbagai hal?

Cahaya matahari lembut menyapa mata. Sudah pagi rupanya. Apa Professor sudah pergi ke laboratorium sejak pagi, mengerjakan proyek besarnya? Kenapa ia tidak mengatakan apa pun padaku sebelum pergi?

"Kau sudah bangun, Isabelle?" Suara itu ... bukan suara berat milik Professor. Itu Billy, asistennya. Aku hanya mengangguk samar sebagai jawaban. Kenapa ia ada di apartemen sepagi ini?

"Kau tidak pergi ke laboratorium?" tanyaku. Anehnya ekspresinya langsung berubah drastis setelah mendengar pertanyaanku. Guratan-guratan kesedihan tampak dengan jelas di wajah itu.

"Dimana Professor? Apa dia punya proyek yang harus segera ia selesaikan, hingga memintamu untuk datang menemaniku di sini?" Aku tidak bisa menunggu lama untuk bertanya. Semua ini terasa benar-benar aneh, tidak seperti biasanya Professor akan berada di sini sampai pukul delapan pagi. Aku penasaran menunggu jawabannya.

Namun, Billy hanya menggelang lemah. "Apa kau tidak ingat?" dia justru bertanya balik. Aku terdiam. Kurasa memang ada sesuatu yang terlupakan dari memoriku. "Ledakan itu .... Professor ...," ucapnya lirih. Matanya tampak sedikit berair buru-buru ia menyekanya.

"Ledakan?" kata itu terngiang-ngiang di telingaku. Suara ledakan itu .... Tanganku yang gemetar hebat .... Heart yang mendadak membuatku merasakan sakit ....

"Tidak!!" jeritku. Billy hanya menghela napas berat kemudian memeluk tubuhku erat-erat. Setitik air mengalir melalui pundakku, untung saja sistemku ini waterproof. Aku bisa merasakan sakit yang begitu hebat di bagian dada. Ini pasti karena heart.

"Tidak! Ini tidak mungkin! Pasti ada yang salah dengan memoriku! Itu tidak mungkin terjadi!!" Aku terus berteriak sejadi-jadinya. Apa peduliku soal telinga Billy yang sakit karena mendengar suara soprano yang terus kubuat.

Api yang menjalar menghanguskan sebagian besar gedung laboratorium sesaat setelah ledakan, sirine tanda bahaya, suara derap lengkah kaki yang berusaha menyelamatkan diri, kepanikan dimana-mana, senyuman terakhir Professor .... Semuanya terekam dengan jelas.

"Billy, tolong katakan jika aku sedang error! Aku pasti salah mencerna data!!" jeritku lagi. Namun, Billy hanya menggeleng beberapa kali. Mengisyaratkan jika tidak ada yang salah dengan sistem-ku.

"Tidak mungkin .... Semuanya ... hanya ilusi, kan?" tanyaku lirih. Kini, aku sudah kehabisan hampir setengah energi karena terus berteriak. Tidak bisa berteriak meskipun aku menginginkannya.

"Tidak, Isabelle. Itu benar-benar terjadi. Dan aku di sini ... karena itulah pesan terakhir Professor kepadaku," paparnya. Kalimat itu membuatku semakin merasa sesak. Terakhir? Apa itu artinya .... Tidak mungkin ....

"Aku akan tinggal di sini. Menemanimu ...." ucap Billy seraya menyeka air di sudut matanya. Aku menggeleng kuat-kuat.

"Tidak! Tidak perlu. Aku hanya ingin ... Professor ada di sini. Aku hanya ingin dia kembali," balasku sambil memegangi dadaku yang benar-benar terasa sesak.

Untuk pertama kalinya, aku benci program heart, yang telah membuatku merasa sesakit ini. Aku bahkan baru tahu jika kata benci bisa mebuatku semakin sakit.

"Aku tahu kau sedih, Isabelle. Tapi ... kita harus bisa menerimanya. Semua ini sudah takdir. Tidak ada yang bisa kembali," sahut Billy lagi.

Sedih? Menerima? Takdir? Apa artinya?! Apa itu akan membuatku merasa lebih sakit dari ini?! Tidak! Lebih baik aku ikut hancur dalam ledakan itu! Hancurkan saja aku!!

"Maaf, Isabelle. Aku harus pergi sebentar. Aku akan segera kembali," ucap laki-laki itu lalu pergi meninggalkan apartemen. Meninggalkanku ....

Perlahan, aku bangkit dari tempat tidurku. Membuka pintu balkon, melihat pemandangan kota. Stasiun kereta cepat, sekolahku, bahkan laboratorium yang kini sudah tak berbentuk .... Penuh dengan kenangan. Semuanya seolah mebanjiri kepalaku. Sakit sekali ....

"Akh!" Heart kembali bekerja dengan aneh sekali. Membuat dadaku seolah berdenyut. Jelas itu bukan debar jantung — aku ini robot yang tidak punya jantung.

Sakit, kini aku tahu rasanya. Ternyata benar-benar mengerikan. Sangat mengerikan! Aku berharap tak akan pernah merasakannya.

Baiklah, ini karena heart. Maka satu-satunya cara agar biaa bebas dari rasa sakit ini adalah dengan menghancurkannya. Lebih tepatnya, menghancurkan diriku sendiri. Tidak masalah. Tidak akan ada yang bisa memarahiku untuk melakukan ini.

Balkon ini cukup tinggi. Jika aku terjatuh dari sini, aku pasti akan mengalami kerusakan parah hingga auto repair tidak mampu memperbaikinya. Aku bisa saja mengalami kerusakan total.

"Hanya ini satu-satunya cara!" Tanpa pikir panjang, aku segera menjatuhkan diriku dari tempat ini. Membiarkan hukum fisika bekerja pada tubuhku.

BRUKK!

Suara berdebum keras terdengar tepat ketika tubuhku berbenturan dengan bumi. Sebagian sistem sepertinya mengalami kerusakan akibat benturan keras itu. Tubuhku melemah. Energiku semakin sedikit.

Auto repair masih terus berisaha memperbaikinya. Tapi sayang sekali, program itu tidak akan berjalan jika aku tidak memiliki energi lagi.

Pandanganku mulai berubah menjadi gelap. Aku menyeringai tipis. Sepertinya ... aku berhasil melenyapkan rasa sakit itu.

*

[END] Mechanical HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang