15 - Silence

107 22 1
                                    

"Aku pulang," ucapku dengan nada yang sedikit berbeda dari biasanya. Sedikit perasaan kehilangan yang menyertai kalimat itu. Biasanya, ada sambutan hangat dari dalam apartemen. Tapi sekarang ....

Billy memang tinggal di sini sejak seminggu yang lalu. Entahlah, sekarang dia ada dimana. Mungkin terjebak hujan — sepertiku — di tempat kerja barunya dan baru akan berangkat pulang setelah hujan reda.

Aku bosan. Libur sekolah yang tersisa tidak tahu harus aku gunakan untuk apa. Masalahnya, berdiam diri di apartemen justru membangkitkan kembali semua kenangan itu, membuat heart bekerja menciptakan rasa sakit. Kesedihan, mungkin itulah namanya.

Lagipula, aku bosan jika terus dibayangi oleh satu pertanyaan sama yang tak kunjung kutemukan jawabannya. "Apa tujuan aku dilahirkan?" Argh! Bisa-bisa aku error jika terus memikirkannya.

Oh, ya. Bagi sebagian orang, televisi disebut sebagai salah satu media hiburan terbaik. Aku tidak tahu apakah benda itu juga bisa bekerja padaku, mengusir kejenuhan ini. Hmm ... sebaiknya aku mencoba ini juga.

Aku menutuskan untuk mengambil remote. Bsia dikatakan ini pertama kalinya aku menggunakan benda ini. Tapi tidak masalah, aku tahu persis bagaimana harus menggunakan benda ini. Hanya perlu menekan tombol power, sisanya menggunakan perintah suara.

Baiklah, saat aku menekan tombol power, benda ini akan langsung menyala putih, menunggu perintah selanjutnya. Jika dalam waktu lima detik tidak ada perintah, maka dia akan memutar channel yang terakhir kali kita putar. Aku tahu itu. Sangat mudah mengoperasi- .... Eh!!

Aku benar-benar terkejut. Bukannya menyala, dinding di belakang televisi itu tiba-tiba merekah saat aku menekan tombol power. Kukira itu hanyalah ilusi optik, ternyata bukan. Benda itu ternyata merupakan pitu menuju ruang rahasia.

Hmm ... pantas saja selama ini apartemen kami tidak terlalu luas. Ternyata ini penyebabnya? Baiklah, mungkin tidak ada salahnya melihat isi ruang rahasia ini.

Ruang rahasia itu tidak seluas yang kubayangkan sebelumnya. Hanya ada sebuah rak berisi buku-buku lama yang sedikit berdebu tersusun rapi di bagian timur, sebuah meja kerja tua di sebelah utara, dan lemari yang entah apa isinya di sudut ruangan. Tempat ini sangat rapi, tidak seperti kebanyakan ruang kosong yang biasanya digambarkan berhantu.

Aku mengamati meja kerja tua itu. Di atasnya terdapat beberapa tumoukan kertas yang berisi berbagai laporan hasil penelitian, beberapa jurnal, serta coretan-coretan yang entah apa artinya diletakkan begitu saja.

Sebuah foto berbingkai kayu juga tergeletak rapi di salah satu sudut meja. Wajah seorang pemuda tampak jelas begitu bahagia di hari wisudanya, meskipun tak ada keluarga yang mendampingi. Hanya sendiri, bangga memamerkan ijazah kelulusannya dengan senyuman mengembang. Tidak salah lagi, itu pasti Professor.

Sebuah amplop berwarna putih tepat di tengah-tengah meja membuatku sangat tertarik. Tanpa pikir panjang, aku segera membuka segel amplop itu untuk mengetahui isinya. Seandainya tidak ada kata "to: Isabelle" di bagian luar, aku tidak akan pernah berani melakukannya.

Surat itu ditulis di atas kertas biasa — bukan kertas daur ulang. Ditulis dengan pulpen model lama. Tulisannya cukup rapi. Beberapa bagian dalam surat itu tampak sedikit luntur karena tetesa air, tapi masih bisa dibaca.

*

Untuk: Isabelle

Aku tahu, suatu hari nanti kau pasti akan menemukan surat ini, meskipun saat itu aku sudah tak lagi bernapas. Yah, aku hanya bisa berharap semoga tidak ada orang lain yang menemukan ini sebelum kau. Karena itulah, aku membangun ruang rahasia di apartemen kita.

[END] Mechanical HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang