Into The Unknown

1.1K 81 23
                                    

Yaya

Menjelang tengah malam. Gerakan pulpen ditangan kanan gadis yang sedang mengerjakan tugas sejarah itu berhenti menulis. Yaya merenggangkan badannya keatas. Mata coklatnya melihat jam dinding kamarnya—23.27. Sebentar lagi hari berakhir, badan Yaya memang lelah namun ia tidak merasa ingin tidur.

Tatapan gadis itu malah jatuh pada jendela kamarnya yang memperlihatkan sekilas rumah tetangganya yang di huni seorang kakek baik hati dan cucunya yang tampan(Ups!).

Yaya menghela nafas. Mau mengela berapa kalipun, Yaya tidak bisa berbohong kalau laki-laki bernama Boboiboy itu memang tampan.

Dia manis, lucu, baik dan ganteng, batin Yaya menambahkan.

Iya iya. Yaya tahu itu. Yaya tidak buta, hanya saja ia malu saja mengakui itu meski dalam hati sekalipun.

Ia hampir tidak pernah merasa tertarik dengan seorang pria. Tentu Yaya punya banyak cowok—tapi tidak ada dari mereka yang mampu membuat Yaya kepikiran seperti ini. Tidak seperti cowok-cowok lain, Boboiboy seperti meninggalkan kesan yang tidak bisa dilupakan otaknya. Seharian ini setelah bertemu dengan cucu Tok Aba itu, pikiran Yaya sering kali oleng lantaran wajah Boboiboy tiba-tiba hadir begitu saja.

Meski Boboiboy adalah sahabat kecilnya, tapi Yaya ia baru pertama kali bertemu dengan cowok itu. Salahkan amnesianya yang merepotkan banyak orang, sekarang Yaya harus berurusan dengan perasan mendebarkan setiap kali melihat ataupun mengingat Boboiboy. Ah, andai dia tidak hilang ingatan, Yaya tidak mungkin akan merasa dag-dig-dug-derr dan pasti biasa saja. Mungkin...

Yang paling tidak mengenakkan adalah bayangan senyum cowok itu yang paling banyak menginvasi pikirannya. Akibatnya Yaya jadi salting sendiri dan pipi tiba-tiba merah. Jangan tanya bagaimana jantung Yaya—serasa mau meledak.

Karena itu gadis itu memutuskan mengerjakan semua tugas sebagai upaya mengusir bayangan indah senyum—ARRRGGG! LUPAKAN YAYA! LUPAKAN !

Yaya mendesah lelah—kali ini dengan kepala sedikit pusing.

Gadis itu menatap jendela kamarnya lagi dan berjalan mendekat. Tangannya menarik tuas dan menggeser jendela ke atas. Semilir angin malam seketika membelai wajahnya.

Langit malam sangat bersih hari ini dengan bulan yang berterang lembut. Yaya mendudukkan dirinya di kursi dan memangku tangannya di kusen jendela. Saat kepala Yaya bersandar pada lengannya, semilir angin lagi-lagi membelai wajahnya. Yaya menutup matanya—memutuskan menikmati malam ditemani suara jangkrik meski tahu angin malam tidak menyehatkan.

Namun dengan begini, Yaya bisa sedikit menghilangkan bayangan pria sahabat kecilnya itu.

Lalu suara ketukan kaca mengagetkan Yaya.

Tek Tek Tek

Yaya langsung mencari asal suara tapi tidak menemukan siapa-siapa hingga dia mendongak keatas. Seketika itu mata Yaya melebar beserta mulutya.

"Hai Yaya."

Pria yang seharian dia pikirkan.

"Boboiboy? Sedang apa kamu diatas sana, astaga, awas jatuh." Pekik Yaya tertahan tidak mau membangunkan seisi rumahnya.

Sedang cucu Tok Aba itu jusru menertawakan Yaya yang khawatir dirinya jatuh. Lucu, batinnya.

"Yaya mau ikut naik,tidak? Bagus loh pemandangannya." Ajak Boboiboy seraya menjulurkan tanganya pada sang gadis.

Tapi Yaya langsung menolak, "Tidak mau, bahaya naik-naik keatas, Boboiboy, nanti jatuh. Kalau genteng aku ambrol gimana, kamu mau ganti?"

Boboiboy semakin menyengir lebar, "Aku seratus persen yakin gentengmu ini kuat Yaya, di tiban Gopal pun aku yakin tidak rusak. Ayo Yaya, tidak akan jatuh kok, aku akan memegangmu." Bujuk laki-laki itu lagi. Tangannya masih terjulur menanti Yaya menyambut.

Sweet of  YouWhere stories live. Discover now