Ra

22.4K 1.7K 55
                                    

"Ra, kamu pagi ini di antar sama Gagat ya. Om Ari nggak bisa ngantar karena istrinya sakit." Seperti biasa, Hira tak diperbolehkan berangkat sekolah sendiri. Selalu di antar oleh salah satu ajudan ayahnya. Alasannya selalu sama, Semarang di pagi hari itu macet dan nggak safety nyetir sendiri apalagi Hira panikan kalau udah mepet masuk jam sekolah.

"Iya Ayah. Nanti Hira pulang malam dan jemput aja di Gramedia." Ayahnya mengangguk dan mengusap kepala Hira serta mencium sang anak. Mereka biasanya hanya bertemu di waktu sarapan, dan makan malam belum tentu bisa bertemu.

"Nanti mama yang jemput kamu, sekalian mama pulangnya." Damar yang hendak berpamitan, langsung mengangguk setuju.

Setelah itu, Damar langsung berangkat kerja.
"Mah,"

"Hmmm,,."

"Apa Ayah nggak capek ya kerja kayak gitu? Kalau nggak lawatan ya dikirim operasi, sampai jarang ada waktu buat kita, walau setiap hari mungkin di rumah tetapi nggak 24 jam."

Kencana kemudian mendekat, ia tahu apa yang diharapkan sang putri. Diam-diam putrinya kesepian di rumah. Putrinya itu menginginkan perhatian lebih tetapi apa daya, ia dan suami punya tanggung jawab masing-masing. Apalagi dirinya juga sama sibuknya dengan sang suami sehingga jarang bisa ada waktu dengan anak-anaknya.

Oleh karena itu, Hira lebih memilih ikut kegiatan di luar ekstrakurikuler seperti les-les untuk mengisi waktunya. Selain itu, dengan begitu Hira tak kesepian dan bisa berbaur dengan teman-temannya walau sifat protektif Damar masih sangat kental.

"Maafin Mama sama Ayah ya nak, nggak bisa kasih kamu waktu yang cukup. Maaf selama ini Mama belum jadi mama impian kamu tapi kami usahakan akan ada waktu buat kamu dan Abangmu."

Hira menggeleng pelan, "bukan begitu Ma. Apa kalian nggak capek kerja terus Hira saja sekolah kadang capek terus kalian yang weekend saja kadang masih kerja? Sekali-kali kalian istirahat,"

Kencana tersenyum mendengar penuturan polos sang anak. Dibalik Hira yang jahil dan berani beradu argumen, terdapat Hira yang polos, pemikirannya kadang susah di tebak dan membuat orang-orang disekitarnya kadang takjub dengan ucapan gadis itu.

"Iya pasti mama istirahat kok. Terimakasih ya Hiranya mama yang selalu perhatian. Oke sekarang kamu berangkat dan have a nice day." Kemudian Hira mencium pipi sang mama dan mencium tangan kanannya.

"Assalamu'alaikum,"

"Wa'alaikumussalam,"
Sementara di depan Hira sudah ditunggu oleh Gagat. Laki-laki berpangkat Serda itu sudah menunggu di dalam mobil yang sudah menjadi mobil antar jemput Hira. Hira yang tak biasa di antar oleh orang baru sehingga agak canggung nampaknya.

"Selamat pagi mbak."

"Pagi Pak."

Lantas laki-laki itu justru tertawa, "jangan panggil saya pak, mbak. Saya masih lajang dan belum menikah,"

Hira meringis, tak tahu panggilan apa yang pantas untuk disematkan ke laki-laki yang berwajah good looking itu. "Kak?"

Gagat mengangguk, "iya boleh saja. Ayo saya antar mbak."

Kemudian Hira masuk dan di antar menuju sekolahnya. Selama perjalanan suasana hening menyelimuti. Hira memilih bungkam begitupun Gagat. Laki-laki berusia 22 tahun itu pun juga memilih bungkam. Dirinya fokus menyetir karena belum terlalu hafal dengan jalanan kota Semarang. Ia terhitung baru dipindah ke Kodam IV/Diponegoro.

"Kelas berapa mbak?" tanya Gagat untuk memecah keheningan yang ada. Gagat juga bukan tipe tentara yang kaku, laki-laki itu cukup ramah dan mudah dalam beradaptasi dengan lingkungan yang baru.

Hira Where stories live. Discover now