0.1 | RAIN | 01 ☔🖼

50 8 0
                                    

[Sebelum <-- Awalan|00 ]

CHAPTER 01 | RAIN 🖼


Hari Sabtu akhirnya kembali terulang setelah ia melewati dua kali weekend di tempat itu. Rintikan air langit belum juga reda sedari siang. Waktu telah menunjukkan pukul 2 lewat 44 menit. Seharusnya ia sudah berangkat kerja. Namun, air langit menghadang langkahnya. Ia hanya menyembunyikan perasaan resah saat teringat gajinya akan dipotong seribu rupiah permenit begitu melewati jam masuk kerjanya. Lagi-lagi ia menghembuskan napas kasar meratapi keadaan jalanan basah di depannya.

"Gimana? Mau diantar?" Suara lembut mama membuyarkan lamunan gadis semata wayang .

Tubuhnya berbalik melihat mamanya sedang mengelap furniture terpajang rapi di setiap rak. "Engga usah, Ma. Ini hujan pasti bakal reda, kok," jawabnya penuh yakin. Kemudian ia berbalik kembali menghembuskan nafas kasar seraya menempelkan kepalanya pada dinding kaca.

Ia memfokuskan untuk mendengarkan suara air langit turun amat derasnya. Membuat genangan air di sisi jalanan, begitu mobil melintas menghantamnya akan membuat cipratan air ke sisi kanan-kirinya.

Gadis itu sudah berserah diri jikalau gajinya akan di potong walau satu rupiah. Ia mengangkat pandangannya. Di dapati seseorang sudah berjongkok memunguti belanjaannya lalu memasukkannya kedalam paperbagnya yang telah basah dan robek. Beberapa saat ia terdiam untuk menarik kembali jiwanya agar bisa menghampiri sosok asing itu.

Tangan mungilnya lebih dulu memungut sebuah jeruk sebelum sosok asing itu mengambilnya. "Kau tak apa?" tannya gadis itu seraya memberikan jeruk kuningnya. Untuk beberapa detik sosok itu terdiam, pikirannya sedang bekerja keras begitu melihat gadis ini.

"Aku tidak apa. Cep-"

Gadis itu lebih dulu menimpali, "Ayo masuk dulu. Kau memperlukan tas belanjaan baru!" Ia menunjuk paperbag tak layak pakai itu. Tidak gegabah ia mengikuti langkah gadis itu, karena gadis itu lebih dulu berlarian masuk ke dalam sebuah toko dua tingkat.

"Kau duduk saja disana dulu, akan aku ambilkan tas belanjaan yang baru." Ia berlari kecil setelah menunjukkan bangku tunggu di pojok ruangan. Dimana terdapat empat bangku dan sebundar meja di tengahnya. Dan, di kelilingi oleh furniture layaknya sedang berada di taman bunga.

Pandangannya mengililingi setiap inci ruangan. Barangkali ia menemukan sesuatu yang menarik. Hatinya begitu teriris melihat kekhawatiran gadis itu. Andai saja, keadaan kita tidak seperti ini, batinnya.

Tak lama, gadis itu kembali membawakan tas belanjaan baru dan segelas minuman hangat.

"Aku enggak tahu kau suka kopi atau tidak. Biar cepat, aku buatkan kopi sachet hangat." Ia langsung memasukan belanjaan orang asing kedalam tas bearu.

Tentu saja sosok berusara laki-laki itu menahan pergerakannya, "Tidak perlu. Aku bisa sendiri." Keras kepala, gadis itu tetap melanjutkan keinginannya.

"Terimakasih,"

"Ini bukan hal besar. Kita harus saling membantu sama lain. Siapa nam-" Seketika ia lupa akan kerjaannya.

Berusaha menghindar akan pertanyaan itu, ia segera menimpali, "Ini usahamu?"

Ia memberikan jeda keheningan beberapa saat, "Iya, milik kedua orangtua ku. Siapa nam-"

THIGA VEETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang