Step Mother

1.6K 87 9
                                    

2004

Ziandra

Libur semester pun tiba. Aku bisa punya lebih banyak waktu bersama kedua adikku. Hanya mereka berdua lah yang aku punya yang ditinggalkan oleh ibuku. Dari pagi semua pekerjaan di rumah sudah aku selesaikan, sekarang jam 9 pagi. Tidak biasanya papa masih ada di rumah, biasanya dia berangkat kerja jam 8 pagi. Adikku Adhi sudah berangkat mengaji bersama teman-teman sekolahnya ke rumah guru mengajinya yang tidak jauh dari rumah. Selama libur semester jam mengajinya diganti menjadi pagi dari jam 8 sampai jam 10. Supaya anak-anak tetap bisa menikmati hari-hari liburan mereka. Shalat Zuhur dan Maghrib diwajibkan berjamaah di masjid komplek. Adik perempuanku yang paling bungsu, Atika sedang mewarnai gambar. Dia paling suka mewarnai. Sesekali terdengar tawanya yang kecil dan menyanyi sendiri. Setiap kali melihat pemandangan ini aku selalu berlinang air mata. Belum saatnya anak-anak sekecil mereka untuk mengerti arti kehilangan seorang ibu. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk menjaga mereka dan menyayangi mereka sepenuh hatiku. Bagaimanapun aku lebih lama merasakan kasih sayang seorang ibu sampai aku berumur 14 tahun. Mereka hanya merasakannya sebentar saja. Lamunanku buyar saat aku mendengar dua orang yang sedang bercakap-cakap di ruang tamu. Aku kenal betul suara itu adalah suara papa, tapi ada suara perempuan dewasa juga. Aku mengintip keluar. Ah, tidak terlalu jelas terlihat wajahnya. Mungkin itu relasi kerja papa. Aku membuatkan mereka dua cangkir teh panas dan mengantarkannya ke meja tamu.

"Terimakasih", ucap perempuan itu sambil tersenyum. Aku hanya mengangguk dan membalas senyum.

"Ini Ziandra, anakku yang paling besar", ayahku memperkenalkanku pada perempuan itu. Aku menyalami tangan perempuan itu. Setelah aku amati perempuan itu, aku memberi beberapa penilaian. Cantik, tinggi, putih, rambutnya panjang lurus. Aku yakin itu hasil smoothing. Dandanannya lumayan bagus, modis. Usianya sekitar 30 tahunan.

"Ziandra, ini Vivian. Papa dan Vivian sudah menjalin hubungan dalam 6 bulan ini, sekarang Vivian ingin mengenal keluarga kita lebih dekat. Kami sudah berencana untuk menikah tahun depan", ayahku menjelaskan. Aku masih seperti tidak menganggap ini serius. Aku hanya bengong dan segera kembali ke ruang tengah. Aku langsung memeluk dan mencium Atika yang sedang mewarnai gambar bunga-bunga. Air mataku berlinang. Apapun yang akan terjadi aku akan selalu melindungi dan menjaga kalian adik-adikku. Itu memang hak papa untuk menikah lagi. Tapi apakah papa sudah memikirkan semua ini? Bagaimana nasib adik-adikku nanti di tangan perempuan itu? Ibuku dulu bahkan mendidik kami semua dengan kasih sayang dan kelembutan. Aku mengambil sapu dan menuju kamarku. Aku mengunci kamar dan menangis tanpa suara, air mataku mengucur deras sekali membasahi satu baju kotor yang sengaja aku gunakan untuk menyeka air mata dan lendir yang keluar dari hidung. Secepat inikah papa melupakan ibuku? Aku tidak tahu masalah urusan orang dewasa, tapi apakah dia tidak memikirkan aku dan adik-adikku? OK, aku bukan siapa-siapa di rumah ini. Aku adalah anak kandung ibu dan ayahku yang sudah pergi entah kemana. Tapi Adhi dan Atika adalah anak kandung papa dengan ibuku. Aku bisa pergi dari rumah ini, tapi nanti bagaimana dengan adik-adikku? Lalu, kalau sampai papa mengusirku suatu hari nanti siapa yang akan menjaga adik-adikku?? Aku hanya berharap seandainya itu terjadi, mereka berdua sudah besar nanti dan sudah bisa menjaga diri mereka masing-masing. Ya Allah, mohon bantu aku dalam menghadapi semua ini. Dalam tangisku aku berdo'a. Aku menenangkan diri di depan cermin. Setelah aku yakin mataku sudah kering dan tidak merah lagi, aku keluar kamar. Aku berpapasan dengan papa.

"Ziandra, papa akan berangkat bekerja dan sekalian mengantar Vivian ke tempat kerjanya", ucap papa.

"Iya pa, hati-hati di jalan. Aku baru selesai menyapu kamar", jawabku.

"Kamu sudah dewasa, papa harap kamu mengerti. Papa sudah tidak mempunyai pendamping sejak almarhummah ibumu meninggal. Papa tidak melupakan beliau. Papa sangat mencintai almarhummah. Tapi kita semua butuh sosok seorang ibu di rumah ini. Adik-adikmu juga butuh figur seorang ibu. Papa harap kamu bisa menerima Vivian di keluarga kita. Tidak harus sekarang. Pelan-pelan, karna kita masih punya waktu sampai rencana pernikahan kami tahun depan", tambah papa. Aku hanya mengangguk. Sebenarnya hatiku menolak. Akhirnya papa berangkat bekerja dengan Vivian. Aku masih dibebani pikiran masalah ibu tiri untuk adik-adikku ini. Tapi aku masih bisa tersenyum dan tertawa di depan Atika. Tak lama kemudian Adhi juga pulang. Setelah mengganti pakaian dan menyimpan tasnya, dia bercerita tentang kelucuannya bersama teman-teman dan guru mengajinya tadi. Aku dan Atika ikut tertawa. Aku bahagia sekali melihat mereka tertawa ceria. Air mataku menggenang lagi. Semua itu karena aku masih teringat dengan figur ibu tiri. Aku segera beranjak ke dapur dengan alasan akan membuatkan mereka coklat hangat. Hari pertama libur di liburan semester ini aku habiskan waktuku bersama kedua adikku. Aku juga menyuruh mereka tidur siang dan memandikan mereka saat sore hari. Tidak lupa pula kami makan siang bertiga di meja makan. Seandainya ibuku masih ada, pasti kami bahagia sekali.

The Perfect 30 (Match)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang