Bab 4 :: Kucing

907 158 12
                                    

Aku pelan-pelan membuka mata dan menemukan tempat yang sama seperti beberapa menit lalu. Kali ini, aku tidak ingin berlaku gegabah. Kutegakkan diri secara perlahan, menatap sekeliling dengan pancar penasaran. Berkedip beberapa kali, aku mengalihkan pandang ke kiri dan kanan, namun pemuda tadi tidak tampak dalam edaran. Di mana ia sekarang?

Baru saja memikirkan mengenai pemuda itu dan apa yang sudah terjadi sebelum ini, pintu ruangan kembali terbuka, menampilkan sosok yang sedang berkelana dalam kepala. Kali ini, ia tidak mengenakan pakaian serba hitam selayak tadi (baru benar-benar kusadari ketika ia sudah tak mengenakannya), terganti oleh celana pendek selutut berwarna khaki, juga kaus putih longgar di tubuh bagian atas. Wajah pemuda itu masih sama, namun terdapat satu hal lain. Plester luka cukup lebar tampak menutup sisi kiri lehernya. Aku mengerjap.

"Kau sudah sadar lagi," ujarnya, kali ini bersama desahan napas maklum. Sepertinya ia mulai kerepotan denganku. Aku hanya mampu menatapnya, tidak mengatakan apa-apa.

"Kalau sudah tidak apa-apa, kau bisa pulang sekarang. Tenang saja, akan kuantar." Mata bagai kumbangnya menatapku lekat. "Tapi dengan syarat. Jangan mencakarku lagi seperti orang kesetanan." Ia menunjuk plester di leher dan aku seketika merona. Merasa malu terhadap apa yang sudah berhasil diperbuat oleh rasa panikku tadi. Lantas memandang ke arah jari-jariku.

"Aku sudah membersihkan tanganmu," kata pemuda itu. Seolah menganggap bahwa aku mengharapkan darah yang mengering di sana.

Kami berdua keluar dari kamar mewah yang semula kutempati.

Dengan langkah pelan, aku mengekor di belakangnya. Mata masih menatap awas pada sekitar. Tempat ini terlaluㅡsangatㅡasing buatku.

Suasana mewah, bahkan lebih mewah dari apa yang ada di kamar, membuat mataku terpana. Keluarga macam apa yang bisa membeli rumah dan perkakas semewah ini? Lukisan-lukisan yang kuyakin hanya ada di pameran terpajang di sana-sini, barang-barang keramik juga berdiri angkuh di beberapa meja di sisi-sisi tembok, juga segala hal menyangkut dekorasi. Ukiran emas, warna bernuansa putih, dan kristal bercahaya menggantung di langit-langit. Kuyakin pemilik rumah ini tidak bekerja sekadar seperti Paman Johnny. Aku sempat menggantungkan rahang.

"Kau tidak mau bertanya kenapa bisa di sini?"

Suara pemuda itu kembali membawaku pada kenyataan. Aku menatap punggungnya yang terbalut jaket kulit hitam, berjalan santai di depanku.

"Aku pingsan. Serangan panik. Kau yang menemukanku."

Ia menoleh. Aku segera menunduk. "Sudah kuduga. Kau memiliki masalah dengan hal itu. Wajar kalau sampai ada tanda di leherku. Terima kasih, lho."

Aku kembali merona. Bicara apa sih orang ini?

Kami menuruni tangga kemudian berjalan menuju pintu depan. Namun, sebelum aku benar-benar lupa, aku segera menghentikan langkah pemuda itu.

"Jika kau mendapati tingkah anehku saat di jalan nanti, kumohon diamkan saja." Aku berbisik padanya, berharap dia bisa mendengarku.

Pemuda itu mengangguk. "Bisa."

"Dan lagi," dia yang sudah akan melangkah lagi pun berhenti, membalik badan dan memandangku yang masih tertunduk, "apa di sini ada kucing?" Aku mendengus.

"Ya. Milik mendiang Nenek."

Aku berkedip. Jadi bocah ini cucu dari si korban.

"Jangan lupa untuk selalu memberinya makan."

***

Sepanjang perjalanan, selain merasa terganggu akan keadaan sekitar, aku juga terganggu oleh pikiran sendiri. Pemuda di depanku itu masih sibuk berputar dalam kepala, memberi beragam petunjuk yang semakin membuat bingung. Dia adalah sosok yang selalu kutangkap dalam mimpi selama beberapa bulan terakhir, sangat persis malah. Dan sekarang aku benar-benar bertemu dengannya di dunia nyata, sebab gangguan aneh atas sikapku yang terlalu menjaga diri dari lingkungan sosial; gejala panik menyerang dahsyat.

[✓] Lucid Dream [Bahasa]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang