Bab 7 :: Déjávu

794 143 9
                                    

Aku tidak tahu apakah perlakuan Mark harus diapresiasi atau malah disumpahi. Dia bersikap seolah kami tidak saling mengenal, abai pada luka gores di leher yang jelas-jelas karena perbuatanku. Tetapi setidaknya, dengan begitu aku bisa terhindar dari masalah-masalah. Dia sudah menjadi salah satu siswa paling dikagumi satu sekolah, sedangkan aku hanyalah sosok yang seolah ingin selalu dilempari telur busuk. Keberadaan kami terlalu kontras. Mungkin aku harus berterima kasih atas ini.

Tetapi, aku tidak bisa berhenti mengumpat atas betapa congkak perilaku pemuda itu. Yah ... sekali lagi, seperti apa yang kutangkap darinya pada pertemuan pertama kali. Bagaimana ia memandang rumahku dengan tatapan yang membuatku ingin meninju rahangnya.

Aku berusaha mengabaikan keberadaan Mark, menyembunyikan segala tanda tanya dan rasa penasaran bersemayam dalam dada. Menjalani kegiatan sekolah sebagaimana ketika pemuda itu tidak ada. Menjadi penumpang gelap di kelas dari jam masuk hingga pulang, lalu berpindah ke mobil butut Paman sebelum tiba di rumah.

Omong-omong soal Paman, mengingat penanganan kasus kematian si nenek-pemilik-kucing-yang-mempunyai-cucu-congkak-selayak-Mark, aku tidak yakin bahwa Paman akan menjemputku sesering biasa. Juga tidak tahu bagaimana solusinya. Aku belum bisa menggunakan kendaraan umum. Bisa sangat cemas jika melakukannya.

Pertanyaan itu pun hari ini terjawab. Pagi tadi, Paman berkata bahwa tak yakin bahwa bisa menjemputku atau tidak. Aku mampu membuktikan bahwa ia memang tak bisa datang. Tapi aku sama sekali tidak menyangka bahwa ketidakhadirannya akan diganti oleh...

"Hai, Haechan!"

...Ten.

Aku mendengus, memandang lelaki yang melambai norak ke arahku. Bagaimana jika yang lain melihat dan memulai desas-desus aneh? Aku berjalan cepat menghampirinya.

"Jangan bilang Paman menyuruhmu datang."

"Ya. Dia memang menyuruhku."

Aku memejamkan mata erat, mengembuskan napas yang bergaung berat.

"Lagi pula, kita sudah sangat dekat." Ten meletakkan tangan kanannya melingkari bahuku. Aku segera membuka mata dan sedikit menjauh darinya. "Tenang saja. Aku akan mengantarmu sampai rumah."

Aku lantas tak memiliki pilihan selain memasuki mobilnya.

"Beberapa hari lalu kau sempat histeris lagi. Pamanmu menghubungiku." Ten melajukan mobil, tepat setelah memastikan aku memakai sabuk pengaman dengan benar. "Kau baik-baik saja akan itu?"

"Ya. Bukan apa-apa. Hanya mimpi buruk biasa."

"Tidak mau menceritakannya padaku?"

"Memangnya kau mau percaya?" Aku meliriknya dan ia mencibir.

"Kau begitu sekali!" Aku mengabaikan. "Omong-omong, kau mau mencoba ke luar?"

"Maksudmu?"

Ten sekarang memutar stirnya, mengarahkan mobil berbelok kanan di tikungan. "Ada kedai es krim yang baru buka. Mau mengunjunginya bersamaku?"

Aku seketika menggeleng. "Tidak. Aku ingin segera pulang. Ada tugas yang harus dikerjakan. Dan sebaiknya setelah mengantarku, kau pun pulang. Ada pasien yang lebih membutuhkan bantuanmu."

"Kau tidak termasuk?"

"Aku tidak termasuk."

"Masih congkak selayak biasa ya," gumamnya. Aku seketika mendelik. Congkak dia bilang? Mark-lah bocah yang congkak!

Kami melewati jalanan besar yang cukup ramai. Aku membenamkan diri ke kursi. Mengintip ke luar jendela, menyaksikan hal-hal yang kami lewati; para pejalan kaki, restoran Cina, toko bunga, restoran seafood, kedai es krimㅡsepertinya tempat yang Ten maksudkan tadi.

[✓] Lucid Dream [Bahasa]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang