3. Sebuah lukisan

485 148 60
                                    

  Dengan tergesa Hanin menapakkan kakinya di halaman lembaga kursus dan memasuki kelasnya yang sudah melangsungkan pelajaran.

"Cie yang telat. Nih ada hadiah," sebuah gulungan kertas Reyhan sodorkan pada Hanin yang terpaksa kembali duduk disampingnya.

Hanin membuka gulungan itu dan menemukan wajahnya yang terlukis dengan indah dan apik. Seperti sebuah kamera canggih, lukisan itu itu jelas merekam sekelilingnya tapi blur dan hanya terfokus pada Hanin saja.

Hanin terkesima, "Kamu ngedit kan? Masa bisa sampai sebagus ini!" tudingnya kemudian, tak ingin cepat percaya pada Reyhan si banyak cerita. Meski ia curiga jikalau laki-laki itu melukis wajahnya saat di kedai Tansu sore kemarin.

"Sembarangan kamu kalau ngomong," sanggah Reyhan sedikit keras, dan berhasil membuat mereka berdua menjadi sorotan.

"Hanin, Reyhan!" Tutor Shofi menggeleng memberi ancaman kepada kedua remaja itu, jika mereka kembali ribut akan dikeluarkan dari kelas seharian. Alhasil keduanya pun memilih mengalah dan diam hingga kelas selesai.

***

Suasana jalan mawar yang dipadati pelajar kursus dari lembaga Mahessa, menjadi pemandangan lumrah setiap Hanin pulang dari kursusan.

Pukul 11.30 merupakan waktu terjahat matahari mengepakkan suhu panasnya setinggi 37 derajat celcius, rasanya kepala Hanin ingin mendididih dengan bibir yang kering dan pecah-pecah sebab udara di kecamatan Pare yang begitu kering dan gersang karena berbulan-bulan tak di guyuri hujan.

Ya Tuhan ternyata jawa panasnya lebih menyengat dari pada sumatera. Gumam Hanin sembari menyeka peluh di dahinya.

Tak lama gadis itu sampai di halaman kosnya, dan memasuki 'Toko buku berkah' yang lengang tanpa pengunjung.

Tak lama gadis itu sampai di halaman kosnya, dan memasuki 'Toko buku berkah' yang lengang tanpa pengunjung

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Seorang gadis bernama Ina berkulit sawo matang menyapanya dengan ramah. Begitu juga pak Sabar pasangan kerja Ina selama delapan tahun belakang ini.

"Penghuni kos baru, ya?" tanya gadis berumur 25 tahun itu bersahabat.

"Iya mbk hehe."

"Kalau Pak Lukman dan buk kholid gak ada di rumah kabari bapak aja kalau perlu sesuatu mbak." tambah pak Sabar pria paruh baya bertubuh jangkung.

"Iya pak, terima kasih." gadis itu mulai mengitari lorong-lorong yang dipadati rak buku. Mencari sebuah novel pilihannya yang sudah ia tunggu sejak awal tahun lalu.

"Mbk ini sat--"

"Hanin Nadhira" terdengar suara dari pintu masuk, Hanin menghela napas panjang dan menghembuskannya dengan kasar. Tak perlu Hanin menoleh, dari suara dan caranya memanggil gadis itu saja sudah dipastikan kalau itu adalah Muhammad Sultan Reyhan.
Ya Tuhan! keluh Hanin sebal.

"Cari apaan lu, Suka baca novel juga? Oh ternyata anak Sumatera gak kudet ya, tau juga buku keluaran terbaru." Ujar Reyhan sembarang, bibirnya menampilkan senyum tipis yang Hanin cerna sebagai ejekkan.

Hanin tak menanggapi, setelah membayar dan pamit dari hadapan Ina dan pak Sabar dia pun berlalu melewati pintu besi berwarna hitam--yang bilamana kita memasukiny--akan bertemu lantai satu dan tangga menuju lantai dua.

"Loh kok dia masuk lewat sana, kak?" tanya Reyhan pada Ina, bingung.

"Iya kos nya ada di atas, di lantai dua."

"Ohhh" Reyhan mengangguk-angguk, "Aslinya Hanin memang jutek ya, kak?"

"Kalo dilihat kayanya engga ya pak. " tanya mbk Ina pada Pak Sabar yang manggut-manggut

"Tapi kalau di kelas jutek, irit bicara, ck buat penasaran aja," gumam Reyhan terakhir kali lalu mengalihkan perbincangan mereka--dengan menanyakan kamus yang hendak dicarinya.

***

Pare JahatWhere stories live. Discover now