hermosa.

176 7 1
                                    

setel yang diatas

"Cantik,"

Sudahlah, mau menyublim aja. Dihadapkan dengan sesosok manusia berwajah Subhanallah yang sedang memainkan gitarnya sembari menyenandungkan sebuah lagu.

"Bukan ku ingin mengganggumu, tapi apa arti merindu, selalu,"

Tidak. Aku tidak mau jadi munafik yang mengatakan suaranya lepas nada, aku sungguh diam-diam bersembunyi dibalik serpihan-serpihan nadanya yang nyaris kelewat sempurna.

"Walau mentari terbit di utara, hatiku hanya untukmu,"

Cara dia memetik gitarnya itu, beda, lebih terasa istimewa, seperti sudah diguna-guna. Padahal sama aja maininnya tinggal dipetik hikmahnya, maksudnya dipetik senarnya.

"Ini kesungguhan, sungguh aku sa-"

Belum selesai, ada aja yang ganggu. Nanggung banget, padahal sebentar lagi doi bilang sayang, tapi nyatanya cuma sebatas bayang-bayang.

"MORK LEE! MANA UANG KAS LU?!"

Iya, dia adalah Mark Lee, anak Indira, si pecinta senja dan semangka. Serius, mamanya Mark Lee namanya tante Indira. Bukan ngeplesetin anak indie juga.

"Kan udah gue kasih tadi" jawabnya santai sambil fokus membenarkan senar gitarnya.

"Lu kira gua anak tadika mesra yang bisa lu bodohin? Sadar Mark yang lu kasih itu uang berbi warungan!"

Sasha, si bendahara kelasnya Mark ga ada hentinya ngemaki dia, sambil bawa sabuk sekolah yang sudah beralih profesi jadi cambuk. Sudah deh, berasa nonton jathilan, Sashanya udah jadi aing maung. Salah siapa juga, bayar kas pakai uang mainan.

Setelah Mark membayar kas dengan uang yang sungguhan, Sasha meninggalkan kita berdua lagi. Mark ngedesah kesal, sambil bibirnya cemberut gemas.

"Padahal gue udah susah-susah minta Lora buat beliin uang berbinya itu"

Aku bener-bener nggak paham sama jalan pikirannya Mark. Beli uang mainan pakai uang sungguhan. What a stupid.

BTW, Lora itu adeknya Mark, masih SMP sih, tapi sikapnya bahkan tampak jauh lebih dewasa dari Mark. Sepertinya waktu balapan sama sperma lain, Mark kebanyakan kejeduk dinding rahim deh. Dulu aku pernah tanya ke Mark,

"Cita-cita lu apa?"

"Gue pengen jadi-ah! Peternak semangka!" Begitu jawabnya.

Aku-nya mikir sih, sepertinya Mark itu ternaknya, ternak kebodohan deh sejak dini. Tiap hari makin subur aja tuh kebodohan, dikasih pupuk secara rutin sepertinya.

"Gue ulang deh, Ra, yang terakhir tadi-ekhem check sound"

Kembali lagi dia memetik senar gitarnya. Dengan khidmat, Mark melantunkan lirik terakhir dari lagu yang sempat Ia senandungkan tadi,

"Ini kesungguhan, sungguh aku sayang ka-mu"

Bersamaan dengan kata terakhir, netranya menatapku dalam. Duh, Mark ganti profesi jadi Ojan, mau ngehipnotis aku ya?

Mark itu memang aneh, tapi jujur, aku bahkan lebih aneh dari dia, karena aku dengan mantap menaruh rasa lebih dari sebatas tertarik kepadanya, walaupun dengan kebodohannya yang semurni susu sapi yang baru diperas atau bahkan semurni madu dari pantat lebahnya.

Tapi itu yang membuat dia berbeda, dia istimewa. Sayangnya, Mark nggak pernah peka, atau memang disengaja?

bodoh! | revisiWhere stories live. Discover now