Rumah Sabaku

727 98 21
                                    

Hai semua 👋
Selamat idul fitri bagi yang merayakan. Semoga masih betah di rumah dan ga bandel keluyuran 🥰
.
.
.
Hinata cemberut. Perempuan itu menolak saat Gaara menyuruhnya berpegangan di motor. Kekeraskepalaan itu berlanjut bahkan saat Gaara berusaha memacu motor lebih kencang. Hinata tak bergeming dan Gaara akhirnya mengalah, takut perempuan itu kenapa-napa.

Sedikit banyaknya Gaara bisa menebak alasan Hinata jadi seperti ini. Berbagai skenario berputar di kepala lelaki itu, memunculkan senyum yang hanya bisa ia sadari sendiri. Hinata cemburu. Gaara tak bisa menyimpulkan hal lain.

Wajah Hinata makin melunak saat Gaara memarkir motornya di gerbang pintu masuk pemakaman. Hinata tidak takut hantu, Gaara tahu. Langkah kaki yang ragu-ragu itu menyiratkan keadaan dirinya yang tengah berdebat dengan ego. Hinata takut menebak.

Di depan makam bertuliskan Sabaku Hikari, Hinata bisa melihat bunga yang sama persis dengan bunga di tangan Gaara. Rangkaian lily putih, lavender, dan beberapa mawar merah muda yang telah layu. Gaara menunduk, mengambil bunga itu dan menggantinya dengan yang baru.

"Aku datang ibu" ucap Gaara. Hinata ikut menunduk, memberi salam.

Hening menyapa mereka berdua. Kunang-kunang menyala terbang mengitari pemakaman. Angin terdengar lebih jelas. Degub jantung mereka bisa terdengar bagi masing-masing.

"Aku bisa menunggu di gerbang kalau kau ingin sendiri" tawar Hinata.

Gadis itu telah melangkah saat Gaara mencengkram lengannya. Jemari Gaara menyusuri tangan Hinata hingga kelima jari mereka bersua. Kehangatan ikut mengalir dalam pautan.

Gaara tidak bicara apa pun lagi. Hinata mengamati Gaara yang termenung menatap nisan.

Konsep kematian itu rumit sekali.

Otak kita sering kali berkhianat. Meski mata menatap nisan, yang berputar di kepala justru rangkaian ingatan. Suara tawa nya nyaring di benak, bukan telinga. Raut wajahnya jelas di bayang, bukan mata. Kebiasaan-kebiasaan tersimpan dalam gerak tubuh yang otomatis menanggapi kehadiran yang telah tiada.

Penyadaran akan kehilangan baru muncul dua tiga tahun kemudian. Saat kita tumbuh makin tua, ingatan tentangnya masih begitu-begitu saja. Dia abadi pada usia terakhirnya.

Sosok ibu seperti apa yang abadi di benak Gaara?

"Kau menangis?" tanya Gaara. Hinata mengusap matanya reflek dan mendapati air disana.

Gaara tertawa, tawa yang terdengar canggung dan sedih.

"Aku ingin dengar tentang ibumu, Gaara"
.
.
.
Gaara bukan seorang penutur cerita yang baik. Dia kebingungan harus menceritakan dari mana dan bagaimana. Terlebih apabila dia harus menceritakan orang tersayang. Gaara khawatir gagal menjelaskan ibunya sebagai perempuan paling cantik, kuat, dan sabar yang ia kenal.

Mereka duduk di bukit tak jauh dari pemakaman. Gaara meminjamkan jaketnya dan Hinata melingkarkan syal hitam panjangnya menutupi leher mereka berdua.

"Ibuku dijodohkan dengan ayah."

Demi Tuhan, kalimat pertama saja telah membuat Hinata patah hati.

"Pernikahan mereka tidak penuh cinta, namun juga tidak diisi kebencian. Ayah dan ibu hidup sebagai teman. Mereka partner, tahu batasan dan tanggung jawab masing-masing."

Ada jeda yang panjang setelahnya. Tenggorokan Gaara rasa tersumbat. Mati-matian ia menjaga agar suaranya tak goyah.

"Apa ibumu sering tersenyum?" tanya Hinata.

Gaara balas menatap Hinata. Sebuah anggukan membuat senyum mekar di bibir sang gadis.

"Apa ibumu memasakkanmu masakan kesukaan?"

House of The SunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang