Isi Pikiran Nara

1.8K 64 5
                                    

"Eh? Apa ini? Tumben banget kamu berpenampilan begitu Nara..." dia berjalan mendekati kami berdua yang masih terdiam. Saya melirik Bagas, wajahnya sama sekali tak baik dia terlihat benar-benar menahan emosi sedikit merah padam sedangkan Wildan sama sekali tak bisa membaca situasi malah, dia datang mendekati kami dengan santainya.

"Jadi Anda mantan Pak Nara yang tidak tau diri itu?" Bagas mulai menyulut api, nada bicaranya jelas bukan bertanya.

"Nara, siapa anak ini.Tidak sopan sekali."

"Hah! Tidak sopan, bukannya anda yang tidak sopan. Menghilang begitu saja dan kembali kemudian menumpang dengan tidak tau dirinya." Bagas semakin memansi Wildan. Apa yang dikatakan Bagas itu benar semua, mari kita ingat bahwa anak ini sudah tau tentang Wildan dan sejarah diantara kami. Melihat wajah Bagas, wajahnya sombong dengan alis terangkat setelah melihat telinga Wildan memerah karena kesal dan tersinggung.

"Kau! Tau apa kau tentang Aku dan Nara. Nara siapa anak ini?"

"Pak Nara tidak perlu menjawab." Bagas melempar senyum miring ke saya. Ah, bocah ini benar-benar.

"Oh, jadi kamu murid Nara, kau pasti gay. Nara sudah lama berhenti untuk mengajar. Buruk sekali caramu Nak," Wildan menyerang balik.

"Biar ku tebak, kau cemburu aku menginap di sini, khawatir aku menyentuh lagi tubuh Nara. Dengar anak kecil, kami terbiasa tidur berpelukan, jadi terima saja kenyataan itu," Wildan mengangkat bahunya santai dan saya lamgsung melotot.

"Pak Nara tidak akan mau lagi memeluk manusia tidak tau diri seperti anda, beban dan hanya bisa menyusahkan. Pergi dari sini dan carilah penampungan lain." Bagas tetap dengan nada sombongnya, dia tidak sepenuhnya terpancing karena ucapan Wildan.

Begitulah awalnya kami jadi duduk di ruang tengah apartment saya. Bagas melipat kakinya dengan angkuh sedangkan Wildan senderan tidak tau diri ujung sofa, lalu saya? saya cuma diam berdiri di tengah-tengah, tidak tau harus bereaksi apa sekarang. Mau bebencongan terus ngomelin mereka berdua yang benar-benar kekanakan itu bukan pilihan yang tepat sebab tampilan saya sekarang sebagai Nara yang dingin, bitch please saya tetap bencong, susah banget nahan diri buat engga ngomelin mereka. Apa yang terjadi setelah Wildan muncul, mereka adu mulut, Bagas mengusir Wildan dan melarangnya untuk menginap disini. Eh? ini kediaman siapa sebenarnya? seenaknya saja bocah ini mengusir orang, lagi pula dia pikir Si pemabuk itu mau mendengarkan, tentu saja engga.

Saya cuma diam, nyilangin tangan di dada sambil muter bola mata sampai pusing. Saya capek dan malas berhadapan dengan dua orang ini, memisahkan pun tidak akan ada gunannya, mulut mereka tak akan berenti saling menghujat. Wajah mereka tetap mulus, tidak lecet sama sekali atau memar, Wildan itu meski semarah apapun dia tidak akan menggunakan kekerasan jika mulutnya masih bisa menyerang orang lain, anak itu tau pasti yang mana lebih menyakitkan antara pukulan pada tubuh atau telinga seseorang.

"Keluarlah salah satu dari kalian jika terus akan berkelahi," ucup saya dingin. Mereka berdua melempar tatapan kesembarang arah, bukan ke saya. Wildan lebih suka menatap dapur sedangkan Bagas matanya menembus jendela. Mereka duduk di sofa yang berhadapan, lain kali sofa yang diduduki Wildan akan saya bawa ke Farenheit aja, sofa itu yang ketumpahan kopi karena ulah Bagas tempo hari.

Apa yang saya harapkan mengatakan kalimat itu? ingin mereka berbaikan? Ayolah, mereka bahkan tidak saling kenal sama sekali dan begitu bertemu sudah mengibarkan bendera peperangan, mana mungkin mereka akan berbaikan. Saya bukan wanita cantik seperti di Drama yang jadi rebutan dan bisa menghentikan perkelahian pun saya masa bodoh jika mereka saling pukul, saya hanya peduli pada perabotan apartement ini, tapi mengatakan kalimat seperti itu seolah saya seperti perempuan protagonis dalam Drama. Sudah 10 menit, keduanya masih diam, saya tidak tahan dengan suasana ini dan masih membutuhkan istirahat.

Banci dan Murid HotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang