PROLOG

82 10 8
                                    

"Lari dari masalah, masalah mengejarmu. Aha! Masalah baru."

Tanpa sadar, aku mengetuk-ngetukkan kepala pada kulit pohon retak-retak. Keningku sakit, sih, tetapi emosiku meledak. Mulutku terus berkata bahwa pemilik jiwa ini begitu ceroboh. Bagaimana tidak? Sudah tahu handphone-nya sekali senggol langsung K.O, malah kujatuhkan ke ember bekas pel yang airnya benar-benar cokelat. Berakhir pada, HP tidak mau menyala.

Aku benar-benar ingin berteriak. Namun, kutahan sebab tahu konsekuensinya. Pertama, bisa menarik banyak perhatian padahal sedang ingin menyepi. Kedua, bisa dianggap kesurupan karena teriakan tidak jelas. Lalu orang-orang akan membawaku ke UKS, tempat si perawat dengan bibir siap omel 24 jam nonstop berada.

Akhirnya, kuhentak-entakan kaki ke bumi. Menjerit tertahan dengan sedikit suara yang keluar. Mataku terpejam paksa membuat raut wajah mungkin tampak berkerut-kerut. Aku melakukan itu dengan kondisi kening masih menempel pada pohon cemara. Ah, Mr. Secret Melody, maaf aku belum sempat membaca pesanmu. HP luar biasaku sedang merajuk karena akhir-akhir ini tidak diperhatikan kesejahteraannya.

"Ssst, berisik!"

Perlahan membuka netra, kucari sumber suara. Agak sebal sih, karena sudah menghentikan aktivitas anehku. Hidungku baru saja mengendus bau minyak wangi yang khas. Maskulin tapi aromanya tidak menusuk. Aku baru menyadarinya setelah mendapati penampakan cowok berjongkok menghadap tembok.

"He? Ngapain, kamu?" Rasa kesal berganti tanya. Dahiku mengedut.

Cowok itu berbalik. Matanya melirikku. Bibirnya dicebikkan. "Menjalankan tugas negara. Sangat rahasia. Jadi, bisa kamu diem?"

Aku mengembuskan napas gusar. Tempat menyendiriku sudah ada yang mengisi-selain aku, itu artinya tempat ini tidak lagi menjadi tempat menyendiri. Atau... apa pun itu.

Si Jongkok itu tampak tak asing di mata. Kalau tidak salah, namanya mengandung unsur huruf L. Tapi siapa? Lutfi? Leo? Lilo? Lola? Lili? Lisa? Aku menggelengkan kepala. Tidak mungkin tiga nama terakhir. Duh, kenapa malah otakku yang jadi lola? L ... l ... emh ... oh, si Alan!

Alan tiba-tiba meloncat. Cowok itu cekikikan sambil melihat HP. Lalu, mulutnya mulai meracau aneh seperti, "Mampus!" atau, "Syukurin! Makanya kalau pacaran tuh liat-liat muka. Ngerasa sebanding, ya?" Dan, sebagainya.

Bebunyian lain menarik atensi. Kudengarkan baik-baik.

"Kalau dilihat dari gambarnya, dibidik di belakang sini," ucap entah siapa dengan nada bicara ala-ala detektif yang sedang menganalisis sebuah kasus.

"Kalau gitu udah pasti orang yang ngelaporin Ran sama Bagas ada di sana," sambar entah siapa lagi dengan suara berat yang membuatku gatal ingin berdehem.

"Cepet! Kaburu jelemana kabur*, kita enggak bisa hajar." Yang ini terdengar menggebu-gebu dengan logat Sunda yang kental.

*[Keburu orangnya kabur]

Aku masih berdiri di bawah pohon cemara, menatap Alan dengan gelagat anehnya. Walaupun aku tidak tahu apa-apa, firasatku membisikkan bahwa ini bukan sesuatu yang baik. Apalagi ada yang menyebut-nyebut nama Bagas, si Ketua berandalan sekolah alias orang nomor tiga yang wajib dihindari setelah perawat UKS dan Pak Johan. Menurut rumor yang beredar, Bagas and the geng sering berantem sampai lawannya masuk rumah sakit. Aku tak ingin berurusan dengan rumah sakit.

"Ish! Dasar anak geng! Mainnya keroyokan." Setelah mengatakan itu, Alan memacu langkah cepat. Tanpa kuduga, dia menarik lengan, mengajakku berlari. "Jangan protes! Bahaya kalau ada di sini."

Asal tahu saja, aku benar-benar kewalahan menyamakan langkah dengan kaki Alan yang panjang. "Larinya biasa aja bisa enggak?"

Alan melirikku sekilas. Dia langsung menepuk kepalanya. "Ini sebabnya aku males berurusan dengan orang pendek."

Aku mendengkus.

Alan berhenti dan kembali berjongkok. "Ayo, naik!"

"He? Apa? Enggak mau!"

Dia memutar bola mata. "Aku juga ogah kalau bukan karena genting. Buruan naik!" Karena aku masih membatu, Alan tanpa ba-bi-bu langsung menarikku ke punggungnya. Meski enggan, aku tidak berontak. Benar katanya, situasinya genting. Seketika bau maskulin yang menenangkan itu memasuki indera penciumanku 'smakin dalam. Aroma cokelat.

Dibawa lari dengan kecepatan di atas rata-rata, spontan saja jantungku berdegup kencang. Percayalah, dari atas sini begitu menegangkan.

"Wowo! Kecekek ini!"

Aku meringis. Tanpa sadar telah mencengkeram kerah seragam belakangnya. Kualihkan tangan pada pundak Alan.

"Oi, kalian berdua! Tong kabur!!!!!"

Lantas Alan melaju makin kesurupan. Aku memejamkan mata sambil merutuki nasibku bertemu si Alan. Coba bayangkan! Aku tidak punya salah, tetapi terancam dihajar oleh anak buah Bagas. Dan kemungkinan termungkin, anak buah Bagas mau menyerang gara-gara tindakan Alan dan HP-nya yang membuat ia melompat girang. Hei! Bahkan aku tak tahu ada apa dengan HP-nya sampai diburon begini.

Perkataan Ayah benar, jika lari dari masalah, masalah akan semakin mengejarmu, dan itulah masalah barunya. Dalam gendongan Alan, tubuhku terjengkang-jengkang. Entah bagaimana nasibku setelah ini. Kalau sampai aku terkena serangan jantung, tolong sampaikan maafku pada Mr. Secret Melody lengkap dengan alasan mengapa aku belum sempat membaca chat-nya. Dan yang paling penting, ukir namaku di batu nisan dengan benar, A-S-K-A-R-A H-A-R-U.

DUK!

To be continued...

A/N:

Bagi pembaca lama, pembaca baru, atau pembaca heubeul yang pernah baca tapi lupa kalau cerita ini pernah ada, aku persembahkan kembali prolog Mr. Secret Melody yang enggak ada bedanya wkwkwk--sebenernya ada bedanya, cuman seupil doang.

Aku berniat revisi MSM untuk menutupi plot hole yang bertebaran, EYD yang pas-pasan, typo anywhere n anytime--terlalu banyak PR jadi rada males revisi juga, ups🙊

Sudahlah gitu saja, aku bingung mau ngapain.

See you!

Tertanda

ChiciUzm, 1 Juli 2021

[Yang ini enggak aku hapus. Buat kenang-kenangan]

EXP

Holla! Gimana prolognya? Btw, ini cerita teenfict pertamaku. Mohon dukungannya jika menyukai cerita ini.

Tertanda

CHICIUZM
Garut, 17 Februari 2020

Mr. Secret Melody [Revisi]Where stories live. Discover now