UDAYADITYA MAHARDEWA 4

49 4 1
                                    

Sumber dari segala masalah dan malapetaka di seluruh nusantara. Warak.

Udayaditya melangkah masuk ruang pertemuan. Beberapa khalayak sudah berada di dalamnya. Berbeda dengan ruang pertemuan Kerajaan Medang, ruang pertemuan Kerajaan Sriwijaya tidak membuat orang – orang mengitari meja bundar di tengah ruangan. Sebuah meja besar dan panjang hadir di ruangan bagian depan. Kursi – kursi ada di belakangnya, dengan satu kursi berukuran lebih besar dari pada yang lainnya. Kursi itu berada di tengah, terbuat dari kayu dengan ukiran aksara Melayu pada pinggir – pinggirnya, serta sebuah bola terbuat dari emas bertengger pada puncaknya. Sebuah peta nusantara berukuran besar menempel di tembok di belakang kursi dan meja. Udayaditya menyadari bahwa peta ini berbeda dengan peta nusantara yang berada di Kerajaan Medang, dengan Kepulauan Maluku dan Nusa Tenggara yang lebih lengkap hadir di dalam peta.

Layaknya sebuah panggung, sebuah undakan membatasi meja dan kursi tersebut. Di bawahnya hadir sejumlah kursi berjejeran yang membentuk setengah lingkaran. Kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Sriwijaya tidak mengenal sistem kasta, namun mereka terbiasa untuk memberikan tempat terdepan kepada para petinggi agama. Beberapa pendeta kuil telah hadir di bagian terdepan, diikuti oleh murid – muridnya. Di belakangnya hadir sejumlah petinggi daerah Kerajaan Sriwijaya. Beberapa merupakan bupati, beberapa merupakan pegawai sipil.

Lalu dimanakah harusnya aku menempatkan diri? Di atas sana bersama para punggawa istana?

Udayaditya memilih berdiri di samping kursi – kursi dan menyender ke tembok. Lagipula pikirnya ruangan sebentar lagi akan penuh, dan tidak ada yang akan menyadari kehadirannya. Perkiraannya tepat, dalam beberapa hitungan, bermacam khalayak memasuki ruangan dan membuat tempat itu terlihat sempit dan berdesakan.

Sebuah sosok bertubuh besar memasuki ruangan, dan seketika ruangan itu menjadi senyap. Sosok itu bertelanjang dada, memakai mahkota emas dengan batu berlian dan mutiara menghiasi samping – sampingnya, serta sebuah tongkat di tangan kanannya. Sebuah sarung berwarna cokelat dan alas kaki terbuat dari kulit menjadi pelengkap busana bagi insan tersebut dari pinggang ke bawah. Yang paling mengerikan adalah rambut putihnya, mulai dari ujung kepala hingga dagu, disertai dengan tatapan tajam, tanda bahwa ia belum menyerah kepada waktu.

Kuulangi sekali lagi opiniku pagi tadi ketika bangun. Sumber dari segala masalah dan malapetaka di seluruh nusantara. Warak.

Samagrawira berjalan perlahan menuju panggung diikuti dengan para petinggi kerajaan di belakangnya. Langkahnya pelan dan berwibawa. Sampai di atas panggung, ia meletakkan tongkatnya di samping kursi emas, dan menatap ke seluruh penghuni ruangan. Tatapannya dingin, seperti memeriksa dosa – dosa yang diperbuat oleh setiap orang di sepanjang hidupnya.

"Selamat pagi, wahai rakyatku! Aku, Samagrawira, mengucapkan berkat atas kalian semua. Dharma Buddha beserta kita semua."

"Selamat pagi raja, dharma Buddha beserta kita semua."

Samagrawira duduk diikuti oleh para pejabat kerajaan di samping – sampingnya. Vijayasastra dan Sanggabuana hadir di antara orang – orang tersebut. Sang panglima kerajaan mengenakan sorban putih di kepalanya, tanda ia masih mengalami sakit akibat peperangan di tanah Khmer.

Raja meneliti kiri dan kanannya. Nampaknya ada sesuatu yang mengganjal pemikirannya.

"Dimana Udayaditya? Apakah ia masih sakit?"

Sial, ia menyadari ketidakhadiranku.

Udayaditya lalu mengangkat tangannya dan berjalan menuju panggung.

"Mengapa kau ada disitu, pangeran? Kemarilah, duduk di atas panggung. Tempatmu disini."

Pangeran. Grr.

Nusa AntaraWhere stories live. Discover now