MULAWARMAN 3

32 2 0
                                    

Ribuan cahaya api.

Panah – panah menancap di tiang anjungan. Dinding api berkobar di kiri dan kanan kapal. Tangan sang pangeran dari Kutai bergetar hebat, memegang pedang berlumur darah. Rompi hitam tanda pengenal kerajaan masih dikenakannya, namun simbol pedang bersayap di dadanya sudah tercabik – cabik tak mampu dikenali siapa pun yang melihat. Giginya bergemeretak menghadapi setiap musuh yang datang menghadang.

Tidak seharusnya seperti ini. Seharusnya Pelabuhan Musi ini kosong. Bukankah tadi pagi sudah kulihat sendiri dari kejauhan kapal – kapal Sriwijaya berada di Laut Jawa?

Sebuah tinju menghantam bagian belakang kepala Mulawarman. Terjatuh bertelungkup, sang pangeran segera bangkit dan menyabet leher prajurit Sriwijaya yang menyerangnya.

"Yang mulia tidak apa – apa?" Seorang prajurit Kutai menghampiri.

"Tidak, kau perhatikanlah dirimu sendiri! Lihat sekelilingmu!"

Mulawarman mengayunkan senjatanya ke depan, menebas prajurit Sriwijaya yang akan melukai koleganya. Menyadari kealfaannya, sang prajurit segera mengambil posisi siaga dan bergegas kembali terjun ke medan perang.

Tidak apalah. Memang pada awalnya rencanaku ingin memberikan kerusakan bagi Kerajaan Sriwijaya. Apakah kami mampu memenangkan pertarungan ini?

Ingin mengetahui jawaban yang dicetuskan dirinya sendiri, Mulawarman segera memanjat tiang anjungan kapal. Pijakan – pijakan kayu memudahkan langkahnya menuju tempat kecil berbentuk bundar di antara layar kiri dan kanan. Bunyi dentingan logam terdengar nyaring di atas geladak. Terkadang suara tubuh yang tercebur di atas laut menjadi selingan. Api sudah menghanguskan salah satu layar hitam di kapalnya. Bau asap membuatnya linglung. Mulawarman memerhatikan sekelilingnya.

Tepat di hadapannya beberapa kapal Kutai menabrak kapal – kapal Sriwijaya, membuat terciptanya sebuah garis pertempuran di Laut Sumatera. Beberapa kapal – kapal Sriwijaya terpecah belah. Jumlah kapal Sriwijaya yang lebih banyak membuat kapal – kapal lainnya bergerak mengelilingi kapal – kapal Kutai. Garis pertarungan dipenuhi dengan manusia di atas kapal. Masing – masing mengacungkan senjata, ingin membasmi musuh. Tidak jarang Mulawarman menyaksikan prajurit – prajuritnya memanjat lambung kapal, sebelum tercebur kembali ke atas laut.

Pertarungan ini berjalan seimbang. Kami mampu menandingi armada perang Kerajaan Sriwijaya, armada terbesar di seluruh nusantara. Garis pertarungan kapal Sriwijaya dan Kutai tetap bertahan sejak benturan awal tadi. Aku bertanya – tanya, mengapa belasan kapal berlayar kuning meninggalkan Laut Sumatera saat kami tiba tadi. Kukira mereka kabur.

Mulawarman memandang jauh ke depan. Kobaran api dan asap menghalanginya, namun di sela – sela pandangannya ia dapat melihat Pelabuhan Musi, istana Palembang, serta perumahan rakyat berbentuk kotak berjajar rapi di samping – samping Sungai Musi yang membelah dataran. Tidak ada satu orang pun berdiri di atas Pelabuhan Musi. Begitu juga di lingkungan perumahan. Mulawarman menyeringai. Di dalam kepalanya ia membayangkan ibu – ibu mendekap anaknya dan bayinya sambil menangis di dalam rumahnya. Orang beruban hanya bisa bersembunyi di balik jendela menatap dengan penuh ketakutan. Sejujurnya hati kecil Mulawarman menginginkan audiensi. Ia ingin jerih payahnya dilihat oleh seluruh warga Kerajaan Sriwijaya.

Sebuah panah berdesing di samping telinganya, diikuti oleh panah kedua di telinga lainnya. Mulawarman memutuskan untuk turun, sebelum kepalanya tertembus batang pencabut nyawa. Lonceng – lonceng tiba – tiba berdentang di kejauhan. Ia mengurungkan niatnya dan memerhatikan pemandangan jauh di hadapannya.

Dewa mendengarku? Mengapa rakyat berhamburan keluar?

Warga Sriwijaya kini berlarian keluar dari tempat kediaman. Beberapa di antaranya memegang senjata seperti tombak dan pisau garpu. Sementara itu bunyi lonceng tidak memengaruhi pertarungan di atas kapal dan laut. Suara logam yang berdentang tidak hentinya berbunyi.

Nusa AntaraWhere stories live. Discover now