Chapter 9

4.3K 541 245
                                    

CHAPTER 9

.

.

Dia terlalu diperhatikan dengan baik. Selama 10 tahun berlangsung, dia belum pernah melewati suasana yang tidak diketahui olehnya apa rasanya, dan tidak cukup menarik kecuali memang, ini membosankan ketika dia harus berkaitan dengannya.

Rona kulit tubuhnya belum membaik, kondisi Luhan masih cukup mengkhawatirkan. Luhan melepas sendok yang terbuat dari kayu mahoni di mangkuknya, dan belum ada yang dia makan. Dia kurang menyukai bubur kubis, dan tiga menu lainnya hanya membuatnya tidak berselera.

"Kenapa kau tidak makan?"

Luhan melihat sekilas, kemudian menyingkirkan bakinya dari depannya.

Sehun yang duduk didepannya, mencoba bersabar. "Kau harus makan obat dan vitaminmu. Apa aku harus menyuapimu?..."

"Aku tidak bisa makan didepanmu." imbuh Luhan, nadanya cukup ketus, mengerutkan dahi Sehun.

Sehun mengamatinya, apa yang dia lihat didepannya, adalah apa yang tidak ingin dia terima.

Putri mahkota semakin berani menolaknya. "Nafsu makanmu tidak akan terganggu jika aku duduk di sini untuk menemanimu, kau cukup mengabaikannya, bukankah kebencianmu hanya berlaku perintahku saja." Sehun menyeruput teh tanpa gula. Aromanya yang kurang sedap langsung mengenyangkan. Ini tidak lezat, siapa yang menyeduhnya?

"Satu potong roti bakar itu sudah cukup mengisi perutmu. Makanlah, aku tidak pernah membuang waktuku untuk memperhatian kesehatan seseorang yang menolakku." Sehun berkata acuh.

"Aku tidak pernah meminta, apalagi menuntutmu untuk meluangkan waktumu, yang mulia." Jawaban itu menyentak senyum Sehun dan itu sangat tipis. Putri mahkota seolah telah menggenggam satu kelemahannya, lalu memakainya sekendak hatinya. Dia sedang digoda pasif, dan itu sengaja membuanya semakin penasaran.

Caranya konservatif sekaligus sombong, dia tidak cukup malu untuk melakukan itu didepan lelaki sehebat Oh Sehun. Sehun berpaling, lalu tersenyum sendiri. Pikirannya tidak mempercayai bahwa kharismanya tidak berpangaruh.

"Kalau begitu berpura puralah kau tidak melihatku di sini."

Luhan tidak tahu dimana letak konsistennya kehormatan yang dimiliki oleh Sehun. Ternyata dia membuktikan, dia lelaki yang memiliki kepercayaan diri tinggi.

"Bagaimana aku bisa berpura pura, kau didepanku yang mulai.."

"Seorang yang sedang membenci, akan memilih mengabaikan orang yang dia benci, demi tidak berurusan lagi dengannya. Begitulah dari mereka memperlakukan orang orang yang mereka tidak disukai."

Matanya berusaha mengungkapkan ketajaman, dan Sehun harus menggeleng. "Kenapa? kau membenci bagaimana kata kataku terdengar hanya sekedar untuk menghibur suasana yang tidak baik diantara kita berdua? atau ini hanya kekanak-kanakan, bagimu?"

"Aku orang yang jujur, dan tidak bisa membohongi keadaan untuk menerima seseorang begitu saja." Luhan berbicara, emosinya mengambil bagian yang nyata sehingga Sehun tidak mempunyai pilihan, dia bangun dari kursinya.

"Jika aku makan didepanmu, aku harus membuka cadarku...." Luhan tenang mengatakan alasannya. Jemarinya meraih sendok buburnya, walaupun buburnya sudah dingin.

Sehun mengurungkan sebentar kepergiannya. Dia menunggu Luhan menyelesaikan kalimatnya.

"Kau tidak keberatan aku membuka cadarku? atau kau akan menelanjangi kekuasaanmu sendiri, yang mulia."

Tidak ada yang bergerak, tidak ada yang bersuara selama beberapa detik yang tidak ingin pergi dari hak yang ingin menang dalam kepemilikannya. "Saat kau membawaku ke sini, aku berumur 11 tahun, dan..." senyum dibalik kain itu anggun, tapi tidak hidup. "sebagian waktu pertumbuhanku menjadi gadis dewasa kuhabiskan dengan kain yang menegaskan bahwa, aku adalah pelaku kejahatan. Apa kau sudah siap membebaskanku, yang mulia? Aku tidak keberatan membukanya sekarang didepanmu." Tapi, konsenkuensi yang Sehun dapatkan tidak akan diterima olehnya semudah itu. Dia menolak negoisasi.

FIORE || TamatWhere stories live. Discover now