Luka yang terlalu menyakitkan, akan membentuk perjalanan dendam tanpa pemberhentian.
.
.
.Ini sudah untuk yang kedua kalinya Seungmin lari dari jangkauan kedua orangtuanya. Ia suka dunia luar, namun selama ini ia sudah terkurung tanpa harapan. Seungmin sudah memutuskan untuk pergi dari jauh-jauh hari. Namun tekadnya baru berbentuk bulat sempurna belakangan ini.
Ia senang bertemu orang-orang baru. Mencoba banyak makanan yang dulu tak bisa ia rasakan. Atau sekedar menghirup udara selain yang ada di sekitar rumahnya. Selama ini, Seungmin harap dia bisa menikmati kota secara bebas, pergi bersenang-senang dengan teman-teman sebayanya dari pagi hingga pagi lagi. Sekarang, saat sudah berada diluar--meski keadaannya tak sama seperti yang ia harapkan--Seungmin merasa seperti hidup kembali. Ia harap kali ini ayah dan ibunya tak mencarinya.
Woojin kembali bertemu dengan Minho serta yang lain di belakang rumah sakit. Sesuai janjinya, ia datang tepat pukul tujuh pagi setelah mengurus segala keperluan sang ibu. Sementara Seungmin dari semenjak tengah malam kemarin, ia bersikeras tidak ingin kembali ke rumah sakit dan berujung mengekor Minho dan yang lain kemanapun mereka semua pergi.
“Okay, jadi kita mulai darimana?” Tanya Woojin membuka obrolan.
“Cepatlah, sebelum aku tidur tiba-tiba lagi,” ujar Hyunjin sambil menguap.
“Tahanlah!” Ujar Minho.
Hyunjin berdecak. “Kau pikir aku bisa?”
Jawabannya tentu tidak. Penderita narkolepsi akan tetap kalah sekalipun ia mencoba untuk terjaga. Hal itu membuat mereka mencoba langsung ke intinya saja.
“Saat di bus, aku dan Changbin bertemu dengan pria tua norak yang melayang. Kalian tau? Pakaiannya seperti--” Kalimat Minho terputus karena Changbin menyenggol lengammya.
“Kau tidak perlu memberitahu soal itu,” bisik Changbin.
Minho mengangguk paham. “Kurasa kalian sedang pingsan saat itu. Tapi pria tua itu berkata bahwa segala yang terjadi saat ini, disebabkan oleh dendam dimasa lalu.”
“Aku tau,” suara yang sangat jarang terdengar itu berasal dari Han. “Aku tidak pingsan saat itu.”
Minho menjentikkan tangannya. “Benarkan! Kau juga dengar kan?”
Han tidak menjawab dan tidak mengangguk. Namun Minho tidak peduli lagi. Han memang seperti itu.
“Lalu apa hubungannya dengan kita yang tiba-tiba jadi seperti memiliki superpower begini?” Tanya Chan.
“Itu aku juga belum tau. Kurasa kita harus benar-benar memastikannya apakah itu hanya kebetulan atau memang kita miliki,” jawab Minho lagi.
“Aku sudah melakukannya dua kali,” ujar Woojin tiba-tiba. Mengingat soal air digelas dan insiden tsunami tadi malam. “Itu bukan kebetulan.”
“Aku juga sudah beberapa kali,” imbuh Seungmin. “Aku mendengar banyak sekali rintihan para pengungsi sambil lewat.”
Dengan fakta tersebut, telah dipastikan bahwa kekuatan itu bukan hanya sebuah kebetulan. Mereka memang memilikinya--hanya tidak tau bagaimana cara menggunakannya.
“Jika dipikir, seluruh kekuatan itu berhubungan dengan komponen alam semesta,” ujar Changbin dengan wajah berpikir.
“Kau memang pintar, tidak heran nilai akademikmu tinggi,” ujar seorang pria yang tiba-tiba berdiri dihadapan mereka.
Hyunjin memandang Minho dan berbisik. “Ini pria norak dan melayang yang kau maksud?”
Minho berdehem dan mengangguk kecil. Ia merasa tak enak sudah mengatakan itu. Dan sepertinya pria itu mendengarnya.
