1: Murid Baru Berwajah Ketus

74 18 0
                                    

Kalau diingat-ingat lagi, pertemuan pertama Aira dengan Nian sangat menggelikan bagi teman-teman terdekat mereka. Nian pindah ke Aruna Jingga tepat beberapa minggu setelah tahun ajaran dimulai.

Wajahnya ketus dan bicaranya yang suka menusuk itu menjengkelkan semua orang. Nian rupanya terlalu berprasangka buruk pada orang baru.

Aira pernah sekali bicara di hari pertama Nian datang. Respons Nian tidak begitu menyenangkan sehingga Aira tak berminat lagi bicara padanya.

Namun sore itu ketika sekolah usai, Nian menghampiri Aira. Untuk pertama kalinya ia merendahkan suaranya.

"Aira, gue mau minta tolong."

Aira berkerut kening. Ia menyelipkan kartu perpustakaan di saku bajunya. Rencananya hari ini ia ingin memperpanjang meminjam buku. Melihat wajah serius Nian, Aira memutuskan meladeni cowok itu.

"Ada apa?"

"Denger-denger lo bisa bantu tugas esai. Gue dihukum guru sejarah bikin esai tentang bab terakhir, perkembangan imperium. Udah rampung setengah, tapi ... gue stuck karena kekurangan data. Lo bisa bantu gue?"

Aira tercengang. Setelah beberapa bulan menjadi murid tahun kedua di Aruna Jingga, baru kali ini Nian dengan kesadaran penuh mengerjakan tugas yang diberikan. Jangan kira Aira tak tahu kabar bahwa ia tak pernah membuat PR, dan keonaran-keonaran yang diperbuatnya.

"Oke. Aku gak punya banyak waktu. Sekarang ayo ke perpustakaan."

Nian tak menyahut. Ia mengikuti Aira menuju perpustakaan. Perempuan itu bicara sebentar pada penjaga perpustakaan ketika mengembalikan buku.Nian melirik sekilas judulnya, 'Thinking Fast and Slow'. Nian terpukau dalam hati. Cewek itu baca buku begituan?

Aira mondar-mandir di rak antropologi dan sejarah. Nian memperhatikannya, Aira meraih dua buku tebal, Sapiens karya Harari dan Guns,Germs and Steel­-nya Jared Diamond.

"Kenapa lo milih dua buku ini?"

"Paling mudah dimengerti," sahut Aira sambil mengambil kursi dan meletakkan buku. Mata coklat Aira menatap wajah Nian lalu melanjutkan, "dan asyik daripada buku pelajaran."

Nian menyengir, "Lo berharap buku-buku pelajaran sama mengasyikkan kayak buku-buku ini?"

"Iya," jawab Aira. "Kamu bawa esaimu? Boleh aku cek?"

"Ada," jawab Nian. Nian mengeluarkan laptopnya dan membuka dokumen esai. Aira membaca sekilas, cewek itu mengembuskan napas berat usai membacanya. Nian bertanya-tanya, apa esainya sangat mengerikan?

"Kayaknya kamu nyadur dari internet dan gak diedit sama sekali kalimatnya. Berantakan banget, Nian."

"Gue nggak punya wak—" Nian berhenti bicara ketika Aira mendelik. Aira takkan percaya pada alasannya. Mana mungkin dia tak punya waktu untuk menulis esai? Lagi pula, untuk apa berkata jujur soal keadaannnya? Nian tak berminat membuka diri secepat ini.

Aira membuka bab 14 Guns, Germs and Steel. Bab 'Dari Egaliterisme ke Kleptokrasi' terpampang. "Coba lihat tabel ini. Awalnya, hubungan antarmanusia tuh terjalin dari tingkat paling sederhana, kawanan. Lalu beralih ke suku, dan jadi kedatuan atau imperium. Imperium ini bentuk organisasi atau tatanan politik paling umum selama 2.500 tahun terakhir dan sangat stabil. Ciri pertama imperium itu, memerintah banyak suku bangsa berbeda yang punya bahasa sama wilayah sendiri. Kedua, perbatasan imperium itu lentur dan potensi nafsunya gak terbatas."

Nian nyaris tercengang mendengar penjelasan Aira. Nian lalu meraih sebuah catatan seukuran buku. "Bentar. Gue perlu catat ini buat esai."

"Kalau imperium itu memerintah banyak suku bangsa, gimana menyatukan mereka semua, bukannya identitas mereka berbeda banget satu sama lain?"

"Yah, gak semua imperium lahir dari penaklukan militer. Ada yang sukarela, ada yang terbentuk karena pernikahan. Yang pasti, imperium itu salah satu alasan utama pengurangan keanekaragaman manusia. Imperium melebur banyak kebudayaan kecil jadi kebudayaan besar. Mereka yang ditaklukan lama-lama bakal menerima kebudayaan imperium. Biasanya mereka pelan-pelan tercerna sama imperium pemakluk sampai budaya khasnya pudar."

Keduanya terus berdiskusi hingga penjaga perpustakaan mengatakan bahwa perpustakaan akan ditutup. Wajah Nian jelas terlihat kecewa.

Aira bangkit dari kursi sambil mendekap dua buku di dadanya. "Kamu ada bawa kartu perpustakaan?"

Nian menggeleng, "hilang, Ra."

Aira berjalan menuju penjaga untuk mengurus peminjaman buku. Beberapa menit berselang, Aira menyerahkannya pada Nian. "Nian, baca bab 14 di buku ini, sama bab 11 di Sapiens buat rujukan esai kamu."

Nian mengangguk. Aira kelihatan ingin cepat-cepat pulang. Langit mulai mendung, tak lama kemudian gemuruh terdengar bersahutan tanda hujan lebat akan turun. Wajah Aira menunjukkan kecemasan. Nian membiarkan cewek itu meninggalkannya sendirian. Belum beberapa langkah, Nian teringat bahwa ia tak punya kontak Aira untuk bertanya soal esainya.

"Aira!" seru Nian. Dari kejauhan Aira membalikkan badan merespons seruan Nian. Nian segera menghampirinya.

"Lo punya LINE? Buat nanya-nanya soal esai."

"Oh? Punya. Bentar..."

Sebenarnya Nian bersorak dalam hati. Benar-benar kesempatan untuk mendapatkan teman di Aruna Jingga. Rasa-rasanya tak mungkin keluar dari sekolah ini tanpa seorang teman.

"Lo kenapa buru-buru banget? Takut kehujanan?" tanya Nian. Melihat Aira yang mulai berjalan menuju gerbang sekolah, Nian secara tak sadar mengikuti cewek itu.

"Iya. Papa nyuruh balik cepet seharusnya."

"Sori ya gue nahan lo."

Aira tak menyahut. Wajahnya semakin muram karena hujan turun. Ia terjebak di sekolah! Papanya pasti akan marah karena ia tak bilang ia akan pulang terlambat.

"Nggak apa-apa. Lo ketahan di sini karena hujan. Bilang aja sejujurnya sama papa lo. Atau nggak gue anterin lo pulang. Kita berdua jelasin sama beliau," kata Nian seolah dapat membaca kekhawatiran Aira. Nian mengajaknya menunggu di dalam sekolah. Aira menurut.

Aira melirik Nian, cowok itu telah terpejam dan membenamkan kepalanya ke dalam jaket. Aira agak merasa aneh menghabiskan waktu bersama cowok yang bahkan tak pernah bicara selama padanya berbulan-bulan lamanya. Ia sadar tak tahu apa-apa tentang Nian. Bagimana kondisi keluarganya, apakah ia punya teman di luar sekolah, bagaimana ia menjalani kehidupan sehari-harinya. Mungkin saja Nian sangat berbeda di luar sekolah. Aira tidak tahu. Satu-satunya cara adalah mengenali Nian lebih baik lewat menjadi temannya. Yah, tidak ada salahnya juga, 'kan?

Hujan berhenti beberapa saat kemudian. Aira awalnya tak ingin mendadak membangunkan Nian, tapi cowok itu tiba-tiba terjaga begitu mendengar pergerakan Aira.

"Eh—eh sori gue ketiduran!" Nian mengusap wajahnya panik. Aira tak bicara apa-apa. Ia lalu tergelak. Nian membalas dengan raut kebingungan.

"Gak papa," sahut Aira dengan sisa-sisa tawanya. Nian segera bangkit dan menuju parkiran sekolah. Ia sudah berjanji mengantar Aira pulang dan memberi penjelasan kepada papanya.

"Makasih ya buat hari ini." Nian nyaris berbisik, namun Aira dapat mendengarnya.

Ia merasa mulai menyukai mengobrol dengan Aira.

29.02.20

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 16, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Gadis Dua Tahun LaluWhere stories live. Discover now