Chapter 5: Kesucian Cinta

21 9 0
                                    


Tuan Loyo menyibak jubah. “Duduklah, Hanz!”

“Terima kasih, Perdana Menteri.” Aku menduduki kursi. Posisiku berhadapan dengan Tuan Loyo. Kami dipisahkan sebuah meja yang di atasnya terdapat beberapa buah-buahan dan gelas-gelas kosong. Gelas-gelas itu mengitari sebuah teko kuningan yang berisi minuman sari buah.

“Silakan tuang sendiri jika kau ingin minum!” Tuan Loyo menegakkan badan. Kedua tangannya saling bertumpu di atas meja.

“Terima kasih, Perdana Menteri.”

“Aku tidak pernah basa-basi, Hanz. Kau tahu itu. Jangan sungkan!”

Sebenarnya aku tidak sedang ingin minum, tetapi demi mendapat tawaran Tuan Loyo, aku tak kuasa menolak. Kutuang isi teko ke sebuah gelas.

“Kita akan bicara serius secara santai.” Tuan Loyo mengambil cerutu Karibia. Ia mengendusnya secara perlahan. Ia tak pernah mengisap tembakau, hanya menikmati aromanya saja.

Kuminum sari buah sedikit. Rasanya luar biasa nikmat. Tak ada yang bisa mengalahkan sari buah hasil racikan koki istana. Satu tetesnya membuat lidahku ketagihan untuk menghabiskan isi gelas. Namun pikiranku sedang tidak bisa diajak santai. Hatiku tidak tenang karena cemas. Aku takut ini ada hubungannya dengan biola. Mendadak saja aku teringat ulah Elfish tadi malam. Sehingga kecemasan semakin sulit kukendalikan.

“Aku sudah memintamu mencari informasi tentang bagaimana cara mendapatkan biola. Kau sudah mendapatkannya, Hanz?”

Aku menjadi gugup. “Maaf, Perdana Menteri. Sejauh ini belum ada informasi yang bisa kudapatkan.”

Perdana Menteri melirikku sekilas. Selanjutnya ia mengambil apel. Ia mengulitinya menggunakan gigi. Padahal ada banyak jenis pisau di atas meja. Setelah separuh kulit apel terkupas, ia menggigitnya.

Aku menahan napas. Sekarang aku tidak bisa tenang untuk membicarakan biola sejak Elfish melukisnya pada dinding kamar. Jika Haiva tidak meyakinkanku bahwa semua akan baik-baik saja, pasti aku sudah menghapusnya.

“Kau tahu bukan, kalau biola itu sesuatu yang dikeramatkan bagi klan Violin? Mereka orang-orang aneh, mengagungkan sesuatu yang mereka sendiri tidak berani menyentuhnya. Karena itulah aku punya ide untuk menghancurkan mereka tanpa peperangan lebih besar lagi.”

“Benar, Perdana Menteri,” jawabku. “Mereka merasa berdosa jika menyentuhnya.”

“Justru itulah titik kelemahan mereka!” Tuan Loyo meletakkan apel yang masih tersisa separuh ke atas meja. Wajahnya menyeringai. “Aku akan membiarkan Javadip dipenuhi biola! Rakyat boleh memiliki, menyimpan bahkan memainkan.”

Aku menangkap maksud Tuan Loyo. Klan Violin tidak berani menyentuh biola meski mengagungkannya. Jika alat musik itu tersebar ke seluruh negeri, maka kemungkinan akan membuat mereka marah. Tampaknya Perdana Menteri ingin melakukan perang non fisik.

“Perdana menteri sebelum-sebelumku terlalu takut jika biola beredar akan membuat klan Violin berkembang. Padahal para pemberontak itu hanya menjadikannya simbol. Apakah sebuah bendera berbahaya? Tidak sama sekali. Yang berbahaya adalah jika mereka bisa leluasa menyusup ke Javadip. Sekarang waktunya perang urat syaraf.”

“Urat syaraf?” Aku baru mendengar istilah itu.

“Itu istilah zaman kuno, Hanz. Maksudnya perang tanpa menggunakan senjata fisik, tetapi menggunakan ini!” Tuan Loyo menunjuk keningnya.

Aku mengangguk kagum. Tuan Loyo sangat cerdas. Pantas saja posisinya belum pernah tergantikan. Namun aku sedikit khawatir. “Bagaimana jika klan Violin semakin marah? Mereka bisa saja memburu orang-orang yang menyentuh biola, lalu menghukumnya.”

Biola Kristal [END]Where stories live. Discover now