8. Kania Itu....

43.9K 3.5K 49
                                    

💜Happy reading💜

***

“Kamu kenapa main hujan-hujanan?”

Tepat setelah pintu terbuka, pertanyaan itu muncul. Arthur meneliti baik, memutari tubuh Kania. Pasang matanya menyipit. Kania masih berdiri di depan pintu, belum menyerobos masuk. Pakaiannya cukup basah, lidahnya belum bertenaga untuk meminta tolong mengambilkan handuk. Arthur juga kurang tanggap. Padahal sang adik kedinginan.

“Kamu juga pulangnya larut banget.”

Kania mengambil napas panjang, dadanya sakit dipakai berlari. Melalui ekor mata ia melirik Arthur, detik setelahnya dia melayangkan pukulan bertubi-tubi.

“Abang nyebelin!!!”

Arthur menjauh. “Kamu kenapa, sih? Kesurupan, ya?”

“Abang kenapa nggak bisa dihubungin? Abang selalu aja kayak gitu! Nggak bisa diandelin! Aku benci sama Abang! Abang jarang banget angkat telfon aku! Uh! Nyebelin!!!”

“Tenang dulu, Abang nggak tahu masalah kamu apa. Coba cerita pelan-pelan.”

“Nggak bisa!!!” jerit Kania kencang.

“Mulutnya udah kayak toa! Jangan berisik! Nanti tetangga bangun semua, bisa diomelin, lho!”

“Abang….” Kania berjongkok. Dinginnya malam menusuk sampai ke tulang-tulang. “Ambilin aku handuk dulu, Bang. Dingin, nih….”

“Ya udah, kamu masuk ke dalam.”

“Nanti lantainya basah.”

“Nanti Abang yang lap, kamu masuk kamar aja. Ganti baju sebelum masuk angin. Kalau kamu sakit tambah ribet, minta dibawain cowok gantenglah, minta koleksi foto Pak Hilmylah, inilah, itulah. Repotin!”

“Abang!!!” Suara Kania berhasil mengalahkan ributnya hujan. Arthur langsung membekap mulutnya.

“Jangan ribut, Bambang!!!”

“Nama aku bukan Bambang!” Kania protes tidak terima. Kakinya melayang pada tulang kering Arthur, setelahnya ia berlari masuk ke dalam rumah, mengabaikan jeritan sang kakak yang membahana.

Kania tergesa mengganti pakaian, mengeringkan rambutnya dengan kipas angin—alat pengering rambutnya rusak dua minggu yang lalu. Untuk sesaat kedamaian menghinggapi jiwa. Meski begitu, perlakuan Arya tersimpan rapi di otak, Kania berjanji akan memberikan perhitungan!

Itupun kalau Kania tidak kalah lagi akan ketampanan Arya.

“Dek….”

“Apa, Bang?” sahut Kania cepat. “Jangan cari masalah dulu sama aku, Bang. Aku mau tidur, aku capek. Aku juga minta maaf udah tendang Abang, anggap aja hadiah ulang tahun.”

Arthur mengetuk pintu. “Abang mau tahu sesuatu.”

“Apa, sih, Bang?”

“Makanya, buka dulu pintunya!”

Walau enggan, Kania tetap menaati perintah. Pintu terbuka setengah, Arthur langsung menyerobos dan duduk di tepi kasur.

“Kamu belum ngasih tahu Abang, kenapa kamu pulangnya hujan-hujanan? Pake marah-marah lagi! Kalau kamu cowok, udah Abang jadiin keset kaki!”

“Abang kenapa nggak bisa manis sama aku, sih? Udah kayak adik tiri aja! Aku tuh maunya disayang-sayang, sama kayak Langit dan Awan. Abang selalu manjain mereka, aku nggak digituin. Boro-boro!”

“Ya udah sini, duduk sama Abang. Cerita.”

“Abang….” Kania mengeluh hebat, raut wajahnya seperti orang yang baru saja kehilangan uang seratus ribu. “Abang tahu? Masa aku dipecat lagi? Padahal, kan … aku kerjanya baik, nggak nakal.”

The Papa Hunter [✓]Where stories live. Discover now