1

10.2K 1.4K 341
                                    

Tempat ini adalah titik bekunya perjalanan waktu. Setidaknya bagi Minho seorang. Lampu-lampu dari bohlam bergelantungan menyapa di pagar-pagar pembatas. Menyiratkan kehangatan yang menyelimutinya dari malam. Udara terasa sejuk menusuk panca indra. Dan suara-suara malam mengintruksi langit di atas sana, bahwa kontras alam sudah cukup sempurna untuk beristirahat.

Minho suka bagaimana cara langit bercerita. Senandung gerak awan yang perlahan berpindah tempat, seakan terus berkata bahwa waktu akan terus bergerak maju meskipun tidak terlalu cepat. Namun bagi Minho waktunya sudah berhenti bergerak. Arloji pada pergelangan tangannya tak kunjung berubah. Masih dititik yang sama di mana terakhir kalinya ia menyerah.

Awan juga ada di malam hari. Meskipun tidak terlalu jelas. Tertutup oleh ribuan bintang serta terang bulan. Minho masih berbaring di atas tikar kumuh tak beratap, dengan berbantalkan lipatan tangannya sendiri. Memfokuskan pandangannya pada pergerakan awan di langit malam. Menunggu detik demi detik di mana kemudian ia harap pintu besi yang sudah berkarat di sudut kembali berderit. Sesekali, objek yang ia tatap berubah kearah pintu tersebut. Ia ingin lihat orang-orang kembali membukanya.

Jika kalian bertanya keberadaan Minho saat ini, maka jawabannya adalah atap gedung tempatnya biasa berlatih tari. Dengan segala macam hiasan yang dulu ia dan teman-temannya bentuk sendiri. Ada bohlam-bohlam yang cahayanya sudah meredup, bergantung di tiap sisi pagar besi. Tak lekang pula kain-kain putih yang kini sudah kumuh dan berjamur dimakan oleh usia. Dulu, Minho gunakan itu untuk bersenang-senang. Ada pula susunan kayu dengan alas tikar yang kini sudah lapuk dan berdebu. Coretan-coretan pada beton dan dinding pun sudah tak layak dipandang oleh mata lagi. Disudut paling kanan, terdapat rak kecil berisi buku komik serta radio diatas nakasnya. Minho yakin benda-benda itu tak lagi berfungsi.

Situasi seperti ini, adalah situasi dimana Minho selalu merasa dekat dengan langit. Seakan semesta memang tak bertepi dan hanya menyisakan tanah tempatnya terbaring serta langit sebagai tontonan damai tanpa garis akhir. Minho rindu bicara pada langit. Tapi ia lebih rindu bicara pada teman-temannya—yang juga sudah ia anggap sebagai langitnya.

Minho berdiri, merenggangkan badan dan berjalan menengok kearah bawah dari celah pagar besi atap ini. Dan seketika, maniknya melebar—mendapati presensi pemuda jenjang di bawah sana. Surai hitam legamnya tertimpa rembulan. Berdirinya tidak terlalu tegak. Dia hanya mengenakan kemeja terbuka dengan dalaman kaos serta celana jeans yang robek. Mendongakkan kepanya menatap kearah dimana Minho juga tengah menengoknya. Manik penuh siratan rindu yang sudah lama tak kian usai. Ia meneguk kembali botol kaca berisi alkohol dan berjalan pergi dengan tubuh sempoyongan.

"Hwang Hyunjin, kau datang tapi tidak kemari," lirih Minho.

Setiap Minho melihat Hyunjin dan Felix, Minho merasa seperti tengah menyaksikan langit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setiap Minho melihat Hyunjin dan Felix, Minho merasa seperti tengah menyaksikan langit. Mereka adalah alasan perasaan Minho selalu berhasil terobati sebesar apapun luka yang ia alami. Sama ketika Minho memandang langit—Hyunjin dan Felix adalah penyembuh dari segala hari buruk yang Minho jalani.

when the sky feels close [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang