1. Membuka Mata

4.8K 137 17
                                    

Kala ketidaktahuan datang menekan, maka ketakutan itu menyerang. Tak tahukah dirimu, hanya dengan membuka mata, semua misteri akan bisa terjelaskan. Dan, kelak ketakutanmu hanya akan tertuju kepada-Nya.








"Besok tidak usah sekolah lagi." Ibu Fatimah berkata pelan, cenderung ketus daripada tegas. Sementara putrinya, Gadis, menunduk karena tidak tahu harus berkata apa mendengar keputusan Ibunya.

Rumah kontrakan reyot itu tampak usang serta berantakan. Tumpukan karung-karung berisi gelas kemasan; kardus-kardus bekas yang telah dilipat; besi-besi karatan yang diikat lalu ditumpuk di sudut ruangan. Ruang tamu di rumah itu lebih mirip seperti gudang.

"Perempuan itu ujung-ujungnya juga hanya jadi tukang masak, cuci, ngurus anak sama suami. Nggak perlu sekolah tinggi-tinggi." Lagi, Ibu Fatimah berkata cepat dengan suara yang dipelankan.

Gadis menundukkan kepalanya semakin dalam. Di dalam hatinya, Gadis tahu, bukan karena pendidikan itu sia-sia bagi perempuan. Tapi dikarenakan mereka miskin, teramat miskin.

Ibu Fatimah bangkit sambil membawa karung goni yang akan digunakannya untuk memulung barang bekas. Pembicaraan itu berakhir tanpa perlu persetujuan dari Gadis apalagi diskusi, kendati hal itu merupakan perkara hidup serta masa depannya.

Kata-kata Ibunya di pagi hari itu terus terngiang dalam benak Gadis. Di hari terakhir ia bersekolah, Gadis berusaha memikirkan apa sebenarnya cita-citanya yang bisa ia jadikan alasan untuk memohon pada Ibunya. Tetapi Gadis kembali tersadar, bukan Ibunya, melainkan kemiskinan yang merenggut segala haknya.

Masa sekolah bukanlah saat-saat yang menyenangkan bagi Gadis. Ia juga tidak yakin meski menamatkan sekolah sampai jenjang SMA akan membawa perubahan yang signifikan pada kehidupan ekonomi keluarganya.

Gadis belum pernah benar-benar berpikir ataupun merancang masa depannya. Bagi Gadis hal-hal yang perlu ia kerjakan harus dilakukan berdasarkan perintah Ibunya. Kehidupannya monoton begitu-begitu saja, Gadis tidak hidup seperti layaknya anak-anak, tapi tidak juga seperti kehidupan orang dewasa. Satu hal yang membuat Gadis enggan bermimpi ialah perkataan Ibu padanya sewaktu dulu Gadis berkata bercita-cita ingin menjadi guru.

"Mana bisa," sanggah Ibunya cepat, yang langsung menghilangkan senyum di wajah Gadis. "Kau nggak mungkin bisa jadi guru. Biaya kuliah itu mahal!"

Sebelum mengenal sakitnya patah hati, Gadis sudah merasakannya terlebih dahulu dari orang yang menjadi tempatnya mengadu keluh-kesah. Saat itu Gadis merasa malu, heran, bingung, dan tidak mengerti. Lalu tercetus sebuah pertanyaan dalam benaknya:

"Kenapa orang lain bisa, tapi aku tidak bisa? Apa Tuhan itu pilih-pilih?"

Saat itu Gadis masih terlalu kecil untuk dapat memahami permasalahan ekonomi keluarganya. Tapi sampai sekarang pertanyaan itu masih tersimpan dalam benak Gadis, bersamaan dengan tamparan kenyataan yang selalu dilontarkan Ibu Fatimah padanya.

Meski Gadis kini sudah pasrah pada nasibnya, namun hati kecilnya tetap mengharapkan kebebasan untuk berpendapat serta memilih jalan mengikuti hati nuraninya.

Sebuah keinginan yang tidak pernah ia ungkapkan pada siapapun.

Gadis masih berumur tujuh tahun ketika ia mulai mengerjakan pekerjaan rumah serta membantu Ibu Fatimah memulung barang bekas di jalanan.

Ketika berumur sepuluh tahun, Gadis mendapatkan pekerjaan pertamanya, ia mulai bekerja di rumah Ibu Padang, salah satu tetangga mereka. Gadis mengerjakan pekerjaan rumah seperti menyapu, mengepel serta mencuci piring. Gadis lalu diberi upah sepuluh ribu rupiah setiap harinya.

Di umur empat belas tahun, Gadis putus sekolah karena ketiadaan biaya. Bapaknya, Usman yang hanya seorang penarik becak sewaan tidak mampu lagi menyekolahkannya. Uang yang Usman dapatkan terkadang bahkan tidak cukup untuk membeli sekilo beras.

GADIS KERANG [SELESAI]Where stories live. Discover now