5. Balon Harapan

1.6K 151 7
                                    

Seharian tanpa aktivitas, Bella mengibaskan rambut hitam sebahunya dan mulai membuka mata. Hari ini Bella memang berniat membolos lagi. Bella masih dongkol dengan kejadian semalam. Tangan Bella rasanya gatal ingin menonjok seseorang. Sebelum dendamnya membara, Bella memutuskan untuk bermain basket di halaman.

Jam dinding menunjukkan pukul tujuh tepat. Rumah minimalis itu masih sangat sepi. Makanan di meja makan belum tersedia seperti biasanya. Bella mengganjal perut dengan sepotong roti dan susu full cream dingin, menuju halaman belakang rumah sambil menenteng bola basket dan mengenakan kaos oblong lengkap dengan celana longgar selutut.

Lemparannya sangat indah, namun tanpa lawan. Berulang kali Bella memasukan bola basket ke dalam ring selalu terpental, tetap nihil. Berulang kali dia mencoba lagi dengan fokus maksimal, tetap saja, hasilnya sama. Mungkin, ini terjadi karena perasaan hatinya sedang kacau. Seakan bola basket juga dapat merasakan perasaan sang pemilik hingga bola itu meronta, tidak ingin masuk ke dalam ring.

"Selamat pagi!" sapa seseorang dari balik taman yang cukup rimbuun. "Kok, enggak semangat, sih, mainnya?"

Pandangan Bella segera menangkap sosok itu, "Angelo? ngapain ke sini, emang enggak sekolah?"

"Kita sama, bolos lagi. Oh, iya, ajari aku main basket dong!" goda Angelo memelas.
"Enggak bisa, kamu itu kurus banget, pantesnya jadi tiang ring bukan pemainnya." Sindir Bella dengan tertawa selebar-lebarnya.

"Oke, enggak masalah, pasti kamu enggak bisa ngalahin Kak Andra yang jago banget main basket." Angelo mulai pamer dengan kehebatan kakaknya.

"Ih, Andra lagi, cowok setengah matang! Emang kamu pernah lihat Andra main basket?"

"Apa kamu bilang?" Angelo meninggikan nada suaranya.

Tidak ingin sahabatnya marah, Bella segera mengatur strategi, "Enggak apa-apa," Bella nyenggir. "Hem, ke danau aja yuk!" ajaknya sambil melempar bola basket yang dia pegang.

Belum sempat Angelo memberikan persetujuannya. Bella langsung menyabet tangannya dan segera mengajak ke halaman depan rumah.

"Tunggu di sini, aku ambil sepeda dulu," ucap Bella berlari masuk ke garasi rumah.

"Emang kamu bisa naik sepeda?" ejek Angelo membenarkan jaket biru di tubuhnya.

"Segala macam olah raga aku pasti bisa, kecuali main bola bekel."

"Emang main bola bekel olah raga?"

"Iya,'lah, olah raga membentuk kelenturan tangan dan jari jemarinya."

"Sotoy!"

"Udah jangan ngedumel terus, cepetan naik keburu panas."

Sepeda beroda dua, berwarna biru, memiliki boncengan, dan keranjang hitam melaju dengan kecepatan kura-kura berjalan di atas pasir pantai. Ini bukan karena Bella tidak kuat menbonceng Angelo, namun Bella ingin setiap detik kebersamaannya dengan Angelo akan dia rekam sebagai sebuah kenangan terindah.

Beberapa kali Bella menengok ke kanan dan ke kiri. Mungkin Bella mencari sesorang atau hanya sekadar menikmati embusan angin pagi yang masih bersih untuk paru-parunya.

Dari arah belakang terdengar suara, "Bella, turun di sini!" perintah Angelo sambil menurunkan satu kakinya. "Ada tukang balon, cepet turunin aku di sini!" Berontak Anggelo.

"Iya, iya, bawel!"

Secepat kilat Angelo meloncat turun dari sepeda lalu menjelma menjadi seorang ibu-ibu, berperan sebagai pembeli yang selalu menawar. "Bang, balonnya berapaan?"

Goodbye Angelo ✔️ (Tamat) Where stories live. Discover now