Part 11

246 108 13
                                    

Kesedihan
Adalah letak dari
Sebuah kejujuran
XxX

Cuaca pagi yang pengab, telah membuat tubuhku semakin ringkih. Atap-atap rumah juga semakin kusut, dipenuhi sarang laba-laba yang menempel sudah sejak lama.

Aku menyadari jika kehidupan ini telah berubah. Tak seindah kenangan yang sedang aku urai sekali lagi. Tak ada lagi kebahagiaan yang biasanya ayah dan ibu berikan kepadaku.

Jelas aku semakin ringkih, daya ingat ku juga tak setajam dulu lagi. Kertas-kertas yang ku tulis untuknya, berserakan di bawah meja belajar, dan disampingnya putung rokok bertebaran dimana-mana.

Terlalu banyak yang bisa kutulis untuknya. Kenangan pahit juga beberapa kenangan bahagia yang tak bakal bisa kujumpai lagi.

Dan aku pagi ini sedang mengingatnya begitu dalam, sedalam keheningan hatiku yang terbujur kaku di dalam rumah ini.

"Jika kau benar-benar mencintaiku jangan pernah meninggalkan diriku!" katakata itu masih terngiang jelas di pikiranku. Katakata yang begitu jelas, dengan ucapan yang juga begitu padat, dan aku paham ternyata tak ada janji yang bakal membuat hati bahagia. Sebelum ia melakukannya kepada kita.

Aku merasakan jika sekujur tubuhku terasa hangat. Pandangan mata juga buyar dalam seketika, ketika cahaya pagi meloncat dari celah jendela.

Orang orang sudah tak pernah menganggap ku lagi. Mereka bilang jika sejak kematian ayah dan ibu, aku menjadi penyakitan dan berhak untuk diungsikan dari kehidupan ini.

Orang-orang menganggap ku sebuah virus yang harus dijauhi, sebab perilakuku yang aneh dan kebiasaanku yang tak bisa mereka terima dengan baik. Aku memang mengalami itu, dan karena itu lah diriku terpuruk sekarang ini, ke dalam keadaan yang tak bisa ku pahami.

Foto itu masih rapi terpampang di sudut meja belajar. Perempuan manis dengan lesung pipi yang menggoda, aku menyimpannya sebelum ia benar-benar hilang dariku.

Pita bukan hanya tak paham hati ini, tapi kerapuhan hidupku dimulai setelah ia benar-benar pergi dari ku. Aku tak melanjutkan kuliah, meski nilai sekolah ku bagus, dan tak bekerja, sebab tak ada semangat hadir di dalam diri ini.

"Untuk apa kau hidup jika tak berguna untuk orang lain dan dirimu sendiri?" indra waktu itu berkata demikian, sambil menyeduh kopi pahit di sebelahnya.

"Cintaku telah hilang, ibu dan ayahku telah tiada, harapan apa yang harus kuberikan pada diriku ini?" indra lalu menghela nafasnya, dan mencari foto kedua orang tuaku.

"Mereka masih hidup di dalam hatimu bukan?" ia menunjukkan itu kepadaku.

"Mereka sudah tiada, hanya kenangan yang selalu ada untuk ayah dan ibuku, dan jelas keberadaanku di kehidupan ini punah, aku tak bisa melawannya dan jangan memaksaku!"

"Sampai kapan kau seperti ini?" ia menunduk sambil menarik pundak ku seakan ia tengah marah besar.

"Kau ini laki-laki! Jiwamu tangguh dan pegangan hidup juga harus jelas! Laki-laki itu harus kuat dan bertahan dari segala masalah hidup!"

"Sudah yang mengoceh?" aku tatap mata indra tajam.

"Omongan memang mudah! Tapi perasaan tak bakal bisa disembuhkan dengan omongan! Aku mengalami ini, dan aku punya hak untuk memilih jalan hidupku sendiri! Kau tak berhak ikut campur!" setelah mendengar itu indra berdiri, dan membanting gelas berisikan kopi sampai terpecah di bawah lantai.

"Dasar orang lemah!" ia menunjuk kepadaku lalu pergi dengan membiarkan kaca berserakan di bawah lantai, dengan air kopi ini.

Tak ada yang berhak memarahiku saat itu, sebab yang mengetahuinya adalah aku, dan orang lain hanya akan mengoceh sambil mereka sok bijak kedengarannya.

Indra tak pernah bermain lagi ke rumah. Ia sepertinya akan juga meninggalkan temannya ini sendirian, dan benar indra hilang tak pernah kembali lagi.

*

Aku tersenyum sinis mengingat indra waktu itu. Kemana ia? Apakah setelah dua tahun ia menjadi lelaki sukses? Semoga tuhan selalu memberkahi setiap jalanmu kawan.

Indra adalah sahabat terakhirku, dan setelahnya aku hidup hanya dengan kenangan. Setiap malam aku mengenang percintaan dengan pita, tengah malam aku teringat dengan kasih sayang ayah dan ibu yang besar.

Hari-hari ku lewatkan dengan seperti itu. Tak ada yang spesial selain keheningan dan kesedihan yang semakin memuncak ini.

Tubuhku terasa kaku dan lemas tak berdaya. Ku baca lagi beberapa lembar tulisan yang ku buat untuknya. ku ingin pita membacanya, saat ia kembali lagi menemui ku.

Hadiah ini ku buat untuknya, untuk serangkaian kisah yang harus ia kenang sebagai penyesalan. Aku yakin, pita masih mencintaiku, ia hanya memilih jalan yang berbeda, dan aku lah korban dari keadaan ini.

Lagi lagi aku teringat tentang nya, kejadian siang hari di depan sekolah yang tak bisa kulupakan.

"Kenapa kau jauhi aku seh!" hatiku gregetan dengan keadaan ini.

"Mungkin hanya perasaanmu saja! Sebetulnya kita memang seperti ini sebelumnya bukan?" ia melempar wajahnya, dan memandang angga yang ada di sebelahnya.

"Ayo buruan pulang ga?"

"Ternyata seperti ini dirimu yang sesungguhnya! Indra ternyata benar!"

"Indra katamu?" ia terkaget mendengar namanya.

"Indra benar, dan sepertinya kau ini bukan perempuan baik-baik!"

"Oh hebat betul temanmu itu! Katakan padanya tak usah sembarangan menilai diri orang lain!" pita marah, sambil menunjuk-nunjuk kan jarinya di hadapan mataku.

"Kau kasar sekali Pita?" aku kaget dengan apa yang aku dengar dan alami saat ini.

"Ternyata benar kata temanmu bukan! Mulai sekarang tak usah kita bertemu apalagi bicara!"

"Kau yang mulai menjauhi ku! Kenapa?" aku tarik tangannya, sebelum angga melempar tanganku.

"Dia punya pilihan, dan jangan terlalu kasar pada perempuan!"

"Diam kau kurang ajar! Aku tak punya urusan denganmu!"

"Enyahlah saja siang ini!" lalu pita pergi dengan menaiki motor dari angga. Tampak kedua matanya berair, tapi aku tak peduli, sebab ia juga lebih menyakiti hatiku ini.

"Ketika ada rahasia, maka aku telah berpikir jika kebaikanmu adalah jalan terbaik saat ini," ia pelan menjauhi ku, dan semenjak kejadian siang itu pita tak pernah melihatku lagi dan bahkan menemui ku hanya sekedar menatap dari kejauhan.

Aku tersenyum mengenang itu, pita dan angga kedua orang yang membuat hati sampai sekarang tersakiti. Tapi benar, aku tak bakal mengenal cinta jika pita tak hadir dalam hidupku ini.

Oleh karena itu, ku simpan semuanya tentang dirinya ini. Kenangan yang menemani hari-hari yang tak menentu.

Ku taruh buku diary ini, dengan ke dua mata yang memudar, aku hanya bertahan dari semua ini. Sampai ia datang menemui ku sekali lagi.

Hampir tiap saat mata itu menghantui, setiap malam yang sunyi dan dingin. Aku paham inilah hidup, hidup yang bakal aku ingat sepanjang waktu.

Dadaku terasa sakit, rokok semakin membuat paru-paruku rusak. Setiap hari ku tulis kisah tentangnya.

Aku terbangun, dan membuka jendela rumah yang sudah sangat rapuh ini. Ku hirup udara pagi, matahari bersinar cerah dan burung-burung pergi mencari makanannya.

"Ada dimana dirimu pita?" hatiku menyayat segala yang menyakitkan. Dan karena itu, ku tulis lagi kisah ini sepanjang waktu yang bisa kutulis lagi.

Kutarik kursi di sebelah kasur kumalku. Aku duduk dengan pelan, meski sweater menutupi tubuhku yang sudah ringkih ini.

Hari ini aku menulis lagi tentangmu, tentang pertengkaran kita dan ayahku itu. Aku ingat jika urusan ini belum selesai dan akan ku selesaikan hari ini, hanya untukmu saja sayangku pita.

KENANGAN (TAMAT)Where stories live. Discover now