PART 23

160 77 0
                                    

Suara mobil ayah terdengar masuk melewati pagar rumah. Aku segera berdiri dan bergegas menuju halaman depan dengan hujan yang masih turun lebat ini. Ibu dari kejuhan terdengar membuka pintu rumah dan memberikan teh hangat kepada ayah, jam sudah menunjukkan setengah lima sore, dan hujan masih saja turun begitu lebatnya.

"Jadi yang berangkat sore ini? Dengan keadaan hujan seperti ini?" tanya ayah kepada ibu, dan duduk di sofa kamar tamu, sambil menatap diriku yang berdiri resah di depan kamar.

"Harus jadi, sore ini juga kita semua harus berangkat ke kota itu! Aku sudah tak tahan dengan aura di rumah ini dan dengan masalah yang menimpa kita semua akhir-akhir ini, lalui hidup baru dan berbahagia di kota itu!" ayah berbicara sambil melotot di hadapanku.

"Suruh anakmu siap-siap sekarang juga! Semuanya sudah beres, kita sudah tak bakal kesedihan lagi," kata-kata ayah barusan membias di telingaku. Semuanya sudah beres? Apanya yang beres yah? Aku hanya berbicara di dalam hati sambil masuk ke dalam kamar.

"Jangan berpikir yang macam-macam ke ayahmu! Ayahmu itu membereskan urusan pekerjaannya yang bakal terus ia pantau meski kita tak tinggal di sini lagi!"

Aku hanya mengiyakan kata-kata ibu barusan, sambil mengganti baju dengan kemeja panjang dan celana jeans yang robek di lutut. Karena hujan turun lebat, ku pakai sweter untuk menghangatkan tubuhku selama perjalanan nanti.

"Kita jadi pindah ke kota itu bu?"

"Ya jadi! Kota yang penuh kedamaian dan kehangatan! Di sana kau bakal bertemu teman yang baik dan udara yang sehat!" ibu sambil merapikan semua baju-baju dan apapun yang harus dibawa saat ini juga.

"Lalu rumah ini?"

"Tentunya kita jual saja! Tapi keputusan tetap ada di ayahmu nak! Ibu hanya ngikut dan tak berani membantah! Selama demi kebaikan kenapa harus melawan bukan?" lalu ibu berdiri dan menghadapku dengan mata tajam.

"Lupakan semuanya! Ayah sudah berbaik hati kepadamu, dan kau harus patuh kepada ayah! Jangan berpikir macam-macam, ayahmu adalah orang baik dan kita adalah keluarga baik-baik!" ibu meremas erat bahuku, yang membuatku sedikit gugup.

"Aku pasti percaya ayah dan ibu," aku tersenyum, sebab ada kelegahan hati saat ibu berkata demikian.

Lalu ibu keluar, menuju ke ruang tamu dan masuk ke dalam kamarnya. Sebentar lagi aku akan meninggalkan kota ini. Kota yang sejak kecil menjadi tempatku bermain, kota yang mengajarkan aku cinta pertama juga. Cinta yang hanya menjadi cinta. Dan terbuang sia-sia, semoga kau dapat merasakan dengan apa yang ku rasakan sore ini Lara.

Hujan sedikit redah, angin masih menggugurkan daun-daun di halaman rumah. Matahari tak mengelurakan senjanya, ayah sudah mulai memanggil dari depan rumah.

"Sudah waktunya aku pergi," sebelum pergi kuselipkan satu surat di dekat jendela yang menjadi tempat favoritku. Aku hanya berharap yang membacanya kelak, atau biarkan saja semua menjadi hilang terbakar waktu.

Ku tutup kamarku, dan menghela napas panjang dengan apa yang ku perbuat dan ku alami beberapa waktu terakhir ini. Semua dalah aturan Tuhan, takdir Tuhanlah yang membuat hidup akan terus berjalan. Sedangkan kita semua hanya menjadi bagian kecil dari cerita yang Tuhan berikan di dunia ini.

"Semoga kita dapat berjumpa sayang, semoga kau baik-baik saja dengan keadaan ini! Hanya semoga dan kebaikan yang aku doakan untukmu," aku melangkah keluar, ibu menutup pintu rumah dan memberikannya kepada penjaga rumah kepercayaan ayah sejak aku kecil.

"Pak kami sekeluarga pamit pindah dulu ya? Jaga rumah ini baik-baik sampai ada yang membelinya! Saya bakal tetap kesini mungkin enam bulan sekali! Untuk memantau perusahaan dari dekat dan memantau rumah ini kalau belum terjual!" ayah memberikan kuncinya dan aku pun duduk di belakang ayah, menatap kaca mobil yang meneteskan air hujan.

"jaga kesehatan bapak dan ibu! Dan semoga neng Pita baik-baik saja," aku tersenyum, sambil melambai meninggalkan rumah penuh kenangan ini. Dari kejauhan rumah itu semakin mengecil, dan hilang sepenuhnya dari pandangan mata ini.

*

"Jadi Pita pindah rumah?" aku melirik senja yang masih saja menatapku dari kejauhan.

"Urusan kalian belum selesei kah kawan? Kalau belum fokus begini gimana jadinya!" ia sedikit kesal dengan tingkahku. Aku juga tak bisa fokus melihat tingkah senja.

"Katakan saja lah, aku tetap fokus mendengarkan kata-kata kok!" ia lalu mencubit tangannya sendiri, mirip kecoa jatuh dari tembok rumah.

"Pindah kemana Pita dan keluarganya? Apa kau tahu dengan hal itu?" ia sedikit mencondongkan tubuhnya lalu membiarkan semuanya berlalu begitu saja.

"Aku tak yakin pasti kawanku, kalau jawabanku ini benar! Tapi ia pernah bilang keluarganya akan pindah ke sebuah kota atau pedesaan dimana di sekitarnya banyak bukit-bukit dan pegunungan yang terhampar jelas!" ia malah tertawa keras, sambil melirik senja yang resah dengan tingkah temanku.

"Pelan-pelan ketawamu kawanku, banyak orang yang terganggu nih! Lalu bagaimana selanjutnya?" aku mulai serius mendengarkannya.

"Kawanku, sungguh kau harus berterimakasih kepadaku! Dari akulah kau dapat mendengar fakta dari keadaan yang Pita hadapi waktu itu! Jujur aku pun lama tak mendapat kabar darinya setelah ia pindah! Tapi suatu ketika, ada pesan masuk dari handphoneku! Pesan itu dari Pita yang berisi kebahagiaan dan ketengan jiwanya," aku tak mengerti maksudnya.

"Ketenangan jiwa maksudmu apa?"

"Sebuah pelarian meditasi dari keadaan tubuhnya, nasibnya dan cintanya! Beban yang ia pikul jauh lebih berat daripada dirimu kawan! Ia menerima nasib yang seharusnya belum waktunya ia alami! Kau memang merasakan sakit ini, tapi Pita jauh menelan rasa sakitnya untuk sebuah keadaan yang tak ia mau!"

"Separah itu keadaannya kah?" perlahan aku lipat tanganku, ku genggam perlahan semuanya yang mirip ritme lagu ini.

"Ini bukan perihal parah dan tidak, ini perihal nasib dan ketangguhan jiwa yang diuji dengan mental yang kuat! Aku rasa Pita akan sedih melihat kondisimu yang menyedihkan ini kawan! Ia berharap yang terbaik untukmu!"

"Apa ia berkata demikian kawanku? Aku berharap jawabannya adaah iya.

"aku yakin jawabannya iya! Sebelum dia pindah, dia masih sempat membuatkan ini untukmu kawan!" lalu ia berdiri, mengambil sesuatu dari saku celananya.

Sebuah benda berwarna kekuningan mirip liontin yang dihiasi dengan pernak-pernik lugu. Sepertinya Pita menambahkan keindahan liontin ini.

"Ini untukku kawan? Kenapa dia memberikan ini?"

"Karena dia cinta dan sayang kepadamu kawanku! Tentu dia buat ini karena dia tahu hanya ini yang bisa dia lakukan untukmu," tanpa sadar aku meneteskan air mata. Ku ambil liontin ini pelan, sambil melihatnya begitu lama sekali.

"Jika takdir adalah urusan Tuhan, maka cintaku ini adalah urusanku sendiri!" aku menundukkan kepala, sambil mencium liontin itu dengan haru.

KENANGAN (TAMAT)Where stories live. Discover now