16

2K 244 3
                                    

Tokk tokk tokk

Ara yang emang kurang sehat, dia jalan pelan-pelan buat bukain pintu. Dia gak tau siapa yang dateng. Perut dia juga lagi kerasa banget dari 4 hari yang lalu.

Cklek

Dan seketika rasa sakit diperutnya keganti sama rasa kaget dia, yang bahkan dalam hitungan detik, detak jantungnya langsung gak karuan.

"Disini kamu rupanya?"

Plak

Tamparan dari seorang ibu emang sakit banget. Sepelan apapun, pasti bisa bikin hati nangis.

"Ibu, gak gini bu. Ayo, kita masuk dulu." kata Yura yang masih megangin tangan ibunya.

Entah tau dari siapa, yang jelas Ara gak pernah nyangka bakal secepat ini ketemu sama ibu dan adiknya.

"M-masuk dulu." kata Ara yang masih nahan tangisnya

Ibunya sama Yura langsung masuk dan duduk disofa. Ara duduk didepan ibunya. Gak ada yang mulai pembicaraan. Ibunya masih terisak tangis, Yura diem ngeliatin Ara, sedangkan Ara masih nunduk dan nahan nangis.

"Kenapa kamu pergi?" tanya ibunya

Ara diem dan masih nunduk. Terlalu malu buat natap raut wajah ibunya.

"IBU NANYA ITU DIJAWAB! PUNYA MULUT GAK KAMU?!" tanyanya dengan nada lantang

Ara tersentak bahkan air matanya udah netes. Seumur-umur, dia belum pernah ngedenger ibunya ngebentak gini.

"JAWAB! BUKAN NANGIS!"

"Ibuu..." lirih Ara

"Masih nganggap saya ibu?! Masih NGANGGAP SAYA IBU KAMU HAH?!"

"Ibu, jangan gini." kata Yura yang nyoba nenangin

"Kamu jahat sama ibu, nak. Ibu ngedidik dan ngebiayain kamu selama ini, buat kamu jadi anak yang baik. Bukan seperti ini." kata ibunya

"Ibu, Ayah, sama Yura, khawatirin kamu selama ini. Kamu hidup sama siapa, apa kamu bahagia diluar sana, gimana kuliahmu, gimana keadaanmu. Apa kamu pernah mikirin itu?"

Ara langsung bangun dan sujud dikaki ibunya. Dia nangis sejadi-jadinya disana tanpa ngejawab satu pertanyaan yang ibunya kasih.

"Ibu gak keberatan kalo kamu nyeritain masalah kamu ke ibu, Ara...." lirihnya sambil narik Ara kepelukannya

Ara makin nangis setelah dipeluk ibunya. Dia ngerasa bersalah karena gak pernah mikirin perasaan ibunya yang emang selalu ngertiin dia.

"Maafin Ara bu, maafin,"

"Ara salah, bu. Ara gak mau buat ibu malu sama omongan tetangga, bu. Maafin aku,"

Cuma itu yang bisa Ara bilang keibunya. Ibunya ngelepasin pelukannya dan natap wajah putrinya yang pergi selama 2 bulan ini.

"Kamu sehat disini, nak?" tanyanya yang masih ngeliatin setiap inci wajah Ara. Ara ngangguk.

"Ibu, Ara hamil." lirih Ara sambil nangis

Ibunya Ara langsung diem. Diem mematung. Bahkan Yura yang ngedengernya langsung nangis gitu aja.

"Maafin Ara." kata Ara sambil meluk kaki ibunya

Ibunya masih diem. Ini keterlaluan, dia dateng buat jemput Ara bukan ngedenger kenyataan yang bikin hatinya sakit.

Tangan yang mulai keriput itu ngelus rambut Ara lembut sambil nahan isak tangisnya. Kenapa musibah ini harus ada dikeluarganya?

"Sayang, liat ibu." katanya. Ara ngedongak dan ngapus air matanya.

"Kita rawat bareng-bareng ya? Jangan takut dan jangan kabur lagi." katanya

"Ibu, maafin aku, bu. Aku bukan anak yang baik buat ibu."

"Ssstt, kita pulang. Kita selesaiin disana sama ayahmu ya?"

Ara ngegeleng, "Aku takut sama Ayah. Aku gak mau pulang." katanya

"Nggak, ayah gak bakal ngapa-ngapain kamu. Ada ibu sekarang. Kamu gak sendirian."





















Mobil udah terparkir dihalaman rumah Ara. Detak jantung Ara berdetak lebih kencang. Dia belum siap buat ketemu sama Ayahnya. Ah, bahkan dia terlalu malu buat nyebut kata Ayah pada sosok pria yang sekarang ada diambang pintu.

"Bu, Ara gak berani." keluh Ara

"Kamu berbuatnya aja berani, masa mengakui kesalahan gak berani? Ayo, turun. Yura, tuntun kakakmu. Katanya lagi kerasa perut." kata ibunya dan keluar lebih dulu ninggalin Ara dan Yura dimobil

"Yu, gue takut."

"Lo pas bikinnya gimana sih sampe jadi gitu? Telat nyabut?"

Bughh

Ara mukul tangan Yura. Barbar banget bacotnya.

"Bacot lo ya, gimana ini? Gue takut ketemu Ayah."

"Udah, turun aja. Ayo, perut lo sakit kan kak?" tanyanya. Ara ngangguk dan turun duluan.

"Ara? Anak ayah, sayanggg." kata Ayahnya sambil lari dan langsung meluk Ara

Ara juga langsung ngebales pelukannya dan nangis didada Ayahnya.

"Anak ayah pulang juga." gumamnya sambil ngusap lembut rambut Ara

"Ayah kira kamu lupa sama Ayah."

"Kamu gak sayang ayah ya?"

Tangisan Ara makin kenceng pas denger kata-kata Ayahnya.

"Maafin ayah ya."

Ayah stop.

"Ayah salah didik kamu sampe kabur-kaburan gini."

Ara ngelepas pelukannya, "Nggak, Ayah. Ayah nggak salah, aku yang salah karena kabur dari masalah."

Ayahnya cuma senyum dan nuntun Ara masuk kerumahnya, Yura juga ngikutin dibelakang.

Diruang tamu, udah ada Ibunya, dan juga.......




















"Mbak Eunbi?"

Eunbi senyum, terlihat jelas kalo Eunbi abis nangis juga. Karena matanya sembab, dan idungnya juga merah.

"Kamu udah makan, sayang?" tanya Ayahnya

Ara cuma bisa ngangguk. Suasananya canggung banget. Apalagi ibunya sama sekali gak natap dia, dan malah nunduk.

"Lho, ini kenapa pada diem-diem ya?"

"Yah, kalo ibu kasih tau sesuatu, ayah bakal kumat gak jantungnya?" tanya ibunya

"Lho, emang kenapa, bu?"

"Ini masalah Ara. Ibu takut ayah kumat lagi."

Ayahnya ngehela nafas, "Nggak bu, kasih tau aja. Ada apa sebenernya?"

Ibunya diem.

"Ara, bilang sama ayah. Kamu kenapa, nak?"

"Ayah, ayah pasti tau kalo anak kita udah dewasa kan?"

Ayahnya ngangguk.

"Anak kita udah kelewat dewasa diumurnya yang masih 20 tahun."

"Kamu ini ngomong apa sih, bu? Kenapa berbelit-belit deh, ngomong aja. Ayah gapapa."

"Ara hamil, Yah."

Ayahnya diem. Natap Ara dengan tatapan yang susah diartiin. Sedangkan Ara langsung nunduk setelah ngasih tau itu. Ibunya dan Eunbi langsung nangis. Dan Yura masih diem diambang pintu.

"Astagaaaa." lirih Ayahnya sambil nutupin mukanya

"Siapa yang ngelakuinnya?" tanyanya

"Seungwoo, Yah. Mantan pacarnya mbak Eunbi."

"Ayo kita kerumahnya. Kita minta pertanggung jawaban."

Pregnant | Han Seungwoo ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang