3. Treasure

869 121 62
                                    

Sejak kecil, atau yang lebih tepatnya di umur tujuh tahun, Jisoo belajar banyak hal. Termasuk bagaimana caranya menerima keadaan dan kehilangan. Bagi Jisoo, dari semua kejadian yang terjadi di umur tujuh tahunnya, menerima keadaan adalah pelajaran yang paling sulit untuk diterima. Dan Jisoo tahu, tidak mudah bagi Seokmin untuk mengajari Jisoo menerima keadaan.

Tentu. Saat Jisoo berumur tujuh tahun, Seokmin juga masih sangat muda. Dua puluh tahun. Jarak umur mereka tergolong jauh. tiga belas tahun. Tapi, berkat banyaknya kesamaan yang mereka miliki, membuat Seokmin membulatkan tekad dan membawa Jisoo untuk hidup bersamanya.

Sedikit perbedaan, Seokmin merasa kehilangan saat ia berada di umur delapan belas tahun. Umur di mana ia sudah mulai beranjak dewasa dan tidak kehilangan arah begitu pegangannya pergi. Saat takdir bicara dan mempertemukannya dengan Jisoo, Seokmin sudah belajar menerima keadaan. Sebab itulah ia merasa bahwa sudah saatnya untuk mengajari Jisoo hal yang sama.

Tidak mudah. Tapi Seokmin juga tidak mudah menyerah. Perlu setahun penuh ia meyakinkan Jisoo, lalu akhirnya bersedia meneruskan pendidikan di sekolah dasar. Seluruhnya. Dari biaya pendaftaran hingga uang saku, Seokmin yang menanggung. Rumah keluarga Hong peninggalan kedua orangtua Jisoo dijual, lalu mereka pergi jauh. Membeli rumah yang sampai sekarang mereka tempati bersama.

Kalau bisa dibilang, rumah itu sepenuhnya hak milik Jisoo. Seokmin hanya menumpang. Tapi Jisoo membantah dengan gamblang. Rumah itu milik Seokmin. Seluruh bayarannya telah dilunasi dengan cara mencicil melalui uang yang sudah selama bertahun-tahun Seokmin berikan kepada Jisoo.

Jisoo tahu. Kalau ia terus bergantung kepada Seokmin, ia tidak akan pernah bisa melakukan apa-apa. Bahkan hingga saatnya nanti Seokmin memiliki keluarga sendiri. Jisoo memikirkan ini. Apa yang bisa ia lakukan? Tidak ada. Karena itulah ia bertekad untuk mulai hidup mandiri. Tidak meneruskan pendidikannya hingga perguruan tinggi.

Dan karena ini pula, tidak ada penyesalan sedikitpun di benak Jisoo meski telah membuat Seokmin marah kemarin pagi. Meninggalkan sarapan yang Jisoo buat meski baru disuap beberapa sendok. Hingga memukul meja dan bicara nyaring. Lebih baik Seokmin marah sekarang, daripada Jisoo merasa terbuang begitu Seokmin menemukan pasangan hidup. Benar, kan?

Kemarahan Seokmin terus berlanjut hingga matahari terbenam dan berganti tugas dengan rembulan. Bahkan hidangan makan malam yang telah Jisoo siapkan tidak disentuh Seokmin sama sekali. Akan tetapi, kemarahan Seokmin yang terus berlanjut seperti ini jangan harap membuat tekad Jisoo sedikit bergeser hingga perlahan mulai melunak. Tidak. Jisoo tahu dengan segala risiko yang akan dihadapinya. Jisoo sungguh tidak mau lagi tergantung sepenuhnya kepada Lee Seokmin.

"Permisi... Apa lowongan kerja ini masih berlaku?"

Dua orang pegawai Mini Market Han tengah sibuk dengan kegiatan masing-masing. Seungkwan menyusun peralatan makeup di rak khusus, Minghao berada di depan kulkas yang terbuka. Sama-sama terdiam begitu Jisoo masuk dan menyapa. Mengangkat kertas pengumuman lowongan kerja tinggi-tinggi.

"Ya... Itu baru saja ditempel," kata Seungkwan. Berdiri. Menepuk celana kain hitam kesayangannya. Menyingkirkan debu.

"Kalau begitu aku mau!" Jisoo bersemangat. Membongkar isi tas. "Aku bawa banyak dokumen untuk mendaftarkan diri. Bisa aku meletakkannya sekarang?"

"Oh! Itu atasan kami. Kamu langsung bicara kepadanya saja," Minghao menunjuk ke arah pintu masuk. Jeonghan baru saja datang. Otomatis menghentikan langkah begitu merasa dirinya disebut. Membuka kaca mata hitam yang dikenakan. "Han eonnie, ada yang ingin bekerja di sini."

Kini perhatian Jeonghan beralih ke Jisoo. Memperhatikan penampilan gadis itu lamat-lamat. Begitu jeli, hingga mengerutkan kening. Diam lama entah memikirkan apa. "Siapa namamu?"

Black Romance (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang