Luka Mayang 18

986 48 6
                                    


[Az, kamu tau Mayang di mana?]

Sesuai dugaannya, wanita itu mencari tahu di mana keberadaan Mayang. Dengan malas, Azmir menggeser notifikasi pesan singkat itu dari layar utama ponselnya. Ia masih belum ingin membahas itu lagi.

Drrrt ....

Ponselnya bergetar, tanda ada panggilan masuk. Ia membaca nama yang tertera di layar benda pipih itu.

"Halo ...."

[Kamu tau di mana Mayang? Dia hilang.]

Azmir mengulum senyum, ia tak bisa membayangkan bagaimana ekspresi kekhawatiran calon mertuanya itu.

"Hah? Kok bisa, Bu? Saya nggak tau dia di mana wong Ibu larang saya jenguk dia waktu itu," ucap Azmir seolah memberi boomerang. Di sana, hanya terdengar desah napas keputusasaan.

[Duh ... bantu cari dulu, Az. Takutnya dia kerasukan terus nyakitin orang.]

"Nanti saya ke sana."

***

"Halah ... ngapain terlalu was-was. Mayang itu udah besar. Bisa jaga diri sendiri," ucap Dahlia dengan nada tinggi.

"Bu, takutnya dia dira—"

"Emang apa peduli Ibu? Malah bagus kalau dia nyakitin diri sendiri terus mati. Ibu nggak perlu diteror terus kayak gini," celetuk Dahlia. Mawar menghela napas panjang, tak sangka begitu membenci cucunya sendiri.

Malas berdebat, Mawar masuk ke kamar. Kadir yang sedari tadi mendengar percakapan mereka hanya terkekeh kecil. Menertawakan kebodohan dua orang egois itu. Untuk apa dicari jika Mayang tinggal di rumah hanya mendapat siksaan? Bagus ia pergi, membebaskan diri dari neraka dunia ini.

"Belum ketemu?" tanya Kadir berbasa-basi.

"Belum ... aku takut dia nekat."

"Baguslah ...."

Mawar menoleh, tak paham maksud suaminya. "Apa, Mas?"

"Baguslah dia pergi. Jadi, aku nggak bisa nyentuh dia lagi," lanjut Kadir. Seketika, Mawar kembali mengingat kebiadaban suaminya itu. Matanya memerah, geram. Sekian lama telah melupakan, luka itu kembali terbuka.

Ia keluar kamar, malas melihat wajah suaminya. Setelah kejadian itu, ia ingin menggugat cerai tapi sadar belum punya penghasilan sendiri. Jika masih bergantung hidup seperti ini, mau tidak mau menahan emosi dan sakit yang dirasa. Demi kebutuhan hidup yang semakin hari semakin melunjak.

***

"Gimana, Mas?" tanya Mayang sambil menepuk pelan pundak Azmir.

"Tadi ibumu nelpon. Suruh aku nyari kamu sampe ketemu. Cuma kujawab iya, setelah itu kututup teleponnya. Malas," jawab pria itu. "Kayaknya nenekmu nggak peduli. Apalagi bapakmu. Ah, keluarga yang aneh," lanjutnya.

"Ya, sudah, Mas. Nggak papa. Toh, aku aman di sini, lebih nyaman. Dilindungi orang-orang yang menyayangi," ucap Mayang lalu mengulum senyum. Azmir menatapnya serius dengan ekspresi tak suka.

"Haha, Mas masih marah, ya?" tanya Mayang. "Ini balasannya pernah bikin aku cemburu juga. Kita impas!" lanjut Mayang sembari melenggang keluar kamar.

Azmir yang geram menyusulnya dan duduk di depan televisi. Sedangkan Mayang hendak membuat teh dan beberapa camilan. Calon adik iparnya sangat suka makan camilan sambil bermain gadget. Tentu saja badannya semakin gempal.

"Raka! Bantuin Mbak bikin kue!" teriak Mayang dari dapur. Azmir pura-pura tak mendengar. Sibuk menonton kartun di channel kesayangannya—seperti anak-anak.

Mayang [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang