08 | Dia Kembali

89 15 1
                                    

08 | Dia Kembali


__________


DI parkiran motor, aku berjalan mendekat sambil membawa minuman.

Dari kejauhan, sudah kulihat kamu sedang merapikan jas hujan. Tanah masih basah, tadi habis hujan deras sekali. Aku datang ke kantormu seperti yang kubilang, paginya kamu juga bilang sepulang kerja kamu mau ganti ban. Tapi karena aku datang sudah terlalu sore, kamu bilang aku tunggu di depan saja, kamu ambil motor.

Tapi hey, untung aku menghampiri ke parkiran kan. Lihat tuh, ada perempuan muncul. Tepat dua langkah lagi aku tiba di sampingmu.

"Buat Mas," katanya sambil menyerahkan tas yang aku tahu isinya kotak makanan. Ini cewek satu, memang nggak ada takut-takutnya.

"Yornan udah makan banyak banget tadi kok, Ni. Buat kamu aja. Kasihan nanti gumoh dia." Aku bersuara. Kamu menoleh begitu menyadari aku sudah datang, langsung salah tingkah. Kamu bingung pasti harus bersikap seperti apa. Mau nolak, nggak enak sama Hani, mau terima, nggak enak sama aku.

"Oh ini, buat makan malam juga masih bisa kok, Mbak. Nanti dimakan berdua juga nggak apa-apa." Hani masih usaha, masih berkata sopan. Dimakan berdua dia bilang? Males banget. Panas sampai ke ubun-ubun aku lihat ada perempuan yang memperlakukan kamu semanis itu. Dia nggak lihat aku berdiri di samping kamu, Yo? Nggak dengar tadi aku sudah nolak halus-halus?

Sepintas, rasanya nggak perlu berlebihan menghadapi situasi seperti itu. Tapi gimana nggak jengkel kalau aku tahu kamu dikasih makanan terus sama dia setiap hari?

"Dimakan ya, Mas Iyo," gumamnya lagi sambil menaruh tas itu di atas jok motormu dan menatapmu dengan tatapan penuh harapan. Dia panggil apa tadi? Mas Iyo? KOK DIA JUGA MANGGIL KAMU KAYA GITU SIH?

"Oh ya ya, makasih, Ni." Kamu berkata sopan. Sayangnya, tidak ada kata sopan di sebuah pertarungan. Kiranya aku mau diam saja lihat kamu setiap hari dikasih makan sama dia?

"Mending lo kasih ke orang di pinggir jalan deh, Ni, biar jatohnya sedekah."

"Keara," kamu menegur langsung menoleh kearahku, kamu pasti nggak habis pikir aku berani bilang begitu. Keara yang selama ini diam setiap kali melihat kamu didekati banyak cewek.

"Yornan sih banyak duit, tenang aja. Dia nggak bakal kelaperan meskipun nggak lo kasih makan."

"Kearaaaa," kamu mengeluarkan jurus andalanmu itu. Memanggil namaku sesejuk embun di puncak gunung Rinjani. Aku dipanggil begitu? Tidak pernah gagal bikin aku lumer.

"Udah," bisikmu lagi, menatapku lekat. Biar aku aja. Kurang lebih begitu arti tatapannya.

"Ni, maaf banget tadi Mas udah makan sama Mbak Keara. Terus nanti malam ada kondangan, nanti nggak ada yang makan jadi sayang kebuang, kan Mas tinggal sendirian di rumah."

Sebentar lagi aku yang nemenin. Aku tertawa-tawa sendiri di dalam hati. Kamu rupanya memilih cari aman. Tapi, aduh, cowok ini. Terlalu lembut jadi banyak yang suka kan. Pusing aku dengar kamu pakai nada selembut itu ke perempuan lain.

* * *

"Lain kali jangan kaya gitu dong, Ra. Nggak baik." Kamu berkata pelan-pelan sambil marapikan jas hujan di atas motor begitu Hani pergi. 

"Biar dia tahu diri." Aku memetik buah kersen yang menggantung ranum di atasku. Lalu duduk di atas motor kosong di samping motor mu. Titik-titik air sisa hujan berjatuhan begitu aku memetik buahnya, mengenai wajah, dan bikin mataku kelilipan air. Melihat aku mengusap mata, kamu menyodorkan kanebo.

Memori dalam Kata [Completed]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora