21 | Harga yang Harus dibayar

139 16 3
                                    

21 | Harga yang Harus dibayar

__________


DAN aku kehilangan kata-kata.

Kata-kata?

Kata-kata yang kususun sejak dulu, kemarin, bahkan sepanjang perjalanan ke kedai kopi itu saja jadi menciut di sudut hati. Kata-kata itu berlomba lari, berebut masuk ke dalam kotak yang sangat dalam. Bersembunyi.

Kata-kata itu mendadak kosong. Hanya karena satu sentakkan dari kamu.

"Masih nggak mau kasih tahu aku ke mana saja kamu delapan hari ini?" kamu bertanya lagi setelah keheningan yang menyelimuti kita. Lebih rendah. Kamu mungkin sadar aku mulai takut. Meskipun ada sedikit nada tegas yang kudengar. Nada suara yang berusaha menekanku, mendesakku.

Kamu nyaris tidak pernah ingin tahu sedalam itu. Tapi, kalau kepergianku tanpa kabar selama delapan hari, siapa pula yang tidak marah?

"Keara."

Aku berdeham. Menyapu pipi. Cukup, Ra. Mas Iyo tidak bisa lagi dibantah. Jawab saja sekarang, Ra.

"Aku ke Surabaya. Tugas dari kantor. Mendadak."

"Delapan hari? Tanpa kabar sama sekali?"

Aku bergeming. Tidak punya jawaban.

"Ra?" kamu melirih, memohon agar aku segera menyelesaikan masalah.

Hening lagi.

"Lalu gimana? Kita mau gimana?" kamu bertanya pasrah.

Di satu sisi, aku menginginkan selesai. Tapi di sisi lain, aku tidak.

"Ra?" kamu mendesis lembut. Membujuk.

Aku menangis. Kamu meraih tanganku perlahan. Aku menangkis.

"Ra, udah... aku­—"

"Yo, aku nggak tahu."

"Nggak tahu apa?"

"Aku nggak tahu kita harus jadi apa."

"Ya masih jadi sepasanglah, Ra. Mau jadi apa? Jangan—"

"Aku nggak tahu."

Kamu meraih tanganku lagi. Aku menghindar.

"Yo, aku nggak tahu!"

Kamu menatapku terkejut. Aku mengusap pipi. Masih belum mampu mengangkat kepala.

"Aku sudah menjelaskan sebaik mungkin, Ra. Nggak ada lagi yang kututupi," ujarmu lembut, berusaha mencari celah kelemahanku. Berusaha mencari celah dari tembok yang kupasang tinggi-tinggi.

"Aku tahu, aku ngerti."

"Nggak, Ra. Kamu nggak ngerti Mas bilang apa."

"Aku ngerti, Yo."

"Kalau kamu ngerti kamu nggak mungkin bilang kalimat tanda menyerah begitu, Ra!"

Kalimatmu membuatku bungkam. Kamu benar, aku tidak mau mengerti. Penjelasan itu? Aku dengar, tapi tidak ingin kupahami. Perasaanku padamu tidak cukup untuk menampung penjelasan itu semua, Mas.

Gelas itu sudah penuh. Penuh oleh kekecewaan, ketidakpercayaan, ego, pertahanan untuk tidak lebih tersakiti.

"Pisah bukan jalan keluarnya, Ra." Kamu berbisik.

"Dan bertahan di dalam hati yang bukan milikku juga bukan jalan keluarnya, Yo," tandasku.

Kamu menghela napas panjang seraya menyandarkan punggungmu di sofa dengan satu sentakkan, lalu mengembuskan napas berat sambil menatapku lamat-lamat. "Tolong, Ra. Kita bisa memperbaiki kesalahpahaman ini." Kamu mengusap wajah. Membuatnya memerah.

Memori dalam Kata [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang