17 | Sepotong Langit untuk Mas

126 14 1
                                    

17 | Sepotong Langit untuk Mas

__________


"Ra?"

"Ya..., Pak?"

"Lihat deh, langitnya bagus. Biru banget," kata Bapak lagi.

Aku melongok ke arah jendela. Menyingkirkan bungkus obat yang akan kuminum.

Hari itu aku memang tidak masuk kerja, Mas. Aku lagi kurang sehat, dan kamu sepertinya tidak perlu tahu. Aku tidak punya rasa percaya diri untuk merasa kamu pedulikan.

Dengan sumringah kuambil ponselku, berpaling dari cakepnya Tom Holland. Meninggalkan Spiderman Homecoming yang sedang tayang di salah satu channel tv kabel untuk ikut menyusul Bapak yang sedang memotret langit di luar rumah.

"Biru banget gini sih, Pak." Aku ikut menengadahkan kepala. Berlompat-lompat lari kembali ke teras begitu sadar kakiku kepanasan menginjak aspal. Lupa memakai sandal saking tidak sabarnya mengambil gambar.

"Lagi cerah banget nih, Ra." Bapak memandang langit tanpa awan dengan takjub. Ikut membantuku mencari angle yang bagus untuk menangkap langit di layar ponselku.

Waktu sebenarnya sudah menunjukkan pukul setengah tiga sore, tapi teriknya masih sanggup menimbulkan fatamorgana di atas jalanan aspal komplek rumahku.

Aku kembali ke teras rumah dengan napas tersengal dan dahi yang berkeringat. "Sebentar, Pak, panas banget," ujarku mengerjap, menormalkan pandangan mata yang buram karena terlalu lama mendongakkan kepala ke langit. Mengecek beberapa kali gambar yang kuambil dari kamera ponsel.

Belum puas juga, aku kembali menyusul Bapak yang masih berdiri memandang angkasa dari bawah pepohonan depan rumah. Aku melangkah pada sudut lain, mendengakkan kepala ke atas langit, menyipitkan mata sambil menutupi dahi dengan telapak tangan untuk menghindari silaunya cahaya matahari.

Satu gambar kuambil. Aku mengusap layar ponsel mencari gambar terbaik, dan begitu aku merasa puas, aku tertawa menunjukkan kepada Bapak di bawah teduh pohon mangga.

"Itu bagus, Ra. Udah nggak usah panas-panasan kamu lagi sakit," kata Bapak. 

"Buat teman Keara pak, dia suka langit." Sesuatu serasa merekah. Aku kembali ke dalam rumah, mengelap wajah dengan tissu. Tak sabar untuk dikirimkan pada seseorang yang mungkin saja lebih menyukai gambar ini dari pada aku.

* * *

Harusnya.

Tadinya, kupikir begitu.

"Keara, lagi sama Mas nggak? Hari ini Mas pulang jam berapa ya? Soalnya Mas belum bisa dihubungi. Ibu mau minta Mas pulang ke rumah hari ini, mau ada perlu keluarga."

Itu pesan dari Ibumu, membuatku menunda mengirimkan gambar kepadamu dan langsung menelepon. Ibu benar, kamu nggak bisa dihubungi.

"Keara lagi cuti, Bu. Nggak lagi sama Mas Iyo. Sebentar ya Bu, Keara hubungi orang proyek dulu."

Dengan setoples kacang telur di pangkuanku, aku mencari nomor proyek yang sempat kamu simpan di ponselku. Kamu bilang, aku boleh telepon ke nomor itu kalau ada hal yang penting dan kamu sedang tidak bisa dihubungi.

Memori dalam Kata [Completed]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora