Akhir Ceritaku Hari Ini

6 0 0
                                    

     “Asyik... sudah selesai nih KTI-nya. Segera kirim Dik, biar cepet plong!” ujar Mbak Riska dengan masih beberes laptop.

     Jarum jam menunjuk angka enam sore, udara malam perlahan mulai menyentuh badanku yang kini mulai menyisakan tenaga beberapa persen setelah bergelut dengan buku dan laptop sejak pagi. Tangan kutarik ke atas dan kukencangkan kakiku. Lalu dengan menghirup udara dingin, kurebahkan badanku pada karpet biru yang bergelar di dalam camp ekstraku, KIR. Perlahan kunikmati suasana ruangan kecil berwarna biru ini, sembari membayangkan hal-hal yang akan terjadi beberapa waktu kedepan.

     Dalam benakku terpikirkan, gambaran singkat tentang masa depanku. Tergambar dengan jelas, wajah ku merona memasuki universitas yang aku inginkan, bertemu dengan sesama mahasiswa baru, bersapa-sapa dalam buaian keceriaan masa ospek. Mendengarkan orasi seorang Presiden BEM (Badan Ekseskutif Mahasiswa) dengan teriakan semangat yang begitu lantang, membakar semangat para  mahasiswa baru yang tengah bergelora di lapangan universitas.

     “Brak!!!!” tiba-tiba suara itu datang dan mengacaukan pikiranku. Bayang-bayangku yang tengah berada di antara teman mahasiswa baru di sebuah universitas seketika lenyap ditelan masa. Aku yang mendengar suara itu serontak langsung mencari sumber suara.

     “Ngagetin aja Mbak.” ujarku sedikit kesal.

     “Lagian orang dipanggilin dari tadi, kamu malah asyik senyum-senyum sendiri. Dah mirip orang gila di pasar tuh.” celotehnya sembari menata buku yang dijatuhkannya tadi.

     “Hm... kebiasaan ni kalau ngomong ndak dipikir, hehehehe. Masa Adiknya yang pintar ini dibilang orgil.” ujarku pembelaan.
    
     “Lagian kamu kebiasaan senyum-senyum sendiri. Apa udah punya doi? Kamu kok nggak pernah cerita sih.” ujarnya makin ngelantur.

     “Sembarangan, mana ada. Ngarang musti. Udah ayo Mbak, segera dikumpulin. Keburu deadline.” ajakku menghindar dari bahasan soal doi lebih dalam.

     Hari itu, aku benar-benar sibuk. Pagi harus bersekolah, siang harus menyelesaikan KTI, dan malam saatnya mengirim naskah. Mengapa mengirim malam? Karena itu sudah tradisi. Entah mengapa selalu saja diantara kami yang ingin mengikuti lomba KTI, selalu mengirim naskah malam-malam buta. Tanpa menghiraukan rasa kantuk yang menghantui diriku.

     Kulihat keluar jendela sekolah, nabastala terlihat terang. Gemerlapan bintang menghiasi malam hari ini. Tiada satupun awan yang berani mengacaukan indahnya nabastala hari ini. Aku termenung melihat keindahan malam ini, terlihat begitu jelas sang rembulan yang tengah tersenyum bertemankan gugusan lintang. Angin yang semilir-semilir mulai menusuk tulang rusukku ini, membuatku berhenti menikmati keindahan gugusan bintang. Aku tersadar, bahwa deadline sudah semakin dekat dan sepatutnya aku harus segera mengirim naskahku.

     “Bagimana Mbak?” tanyaku padanya yang sedang membaca naskah kami berulang.

     “Sudah kalau aku, coba Kamu baca lagi Dik!” pintanya dengan menyodorkan laptop ke arahku.

     Perlahan aku mulai membaca kata demi kata, kalimat demi kalimat, halaman demi halaman dalam naskah KTI kami. Beberapa aku gerakkan kursor ke atas dan ke bawah, tidak satupun kutemui kata-kata yang salah atau kalimat yang sumbang. Semuanya sudah benar. Aku dan Mbak Riska memutuskan untuk segera mengubahnya ke dalam bentuk pdf. Kami berbagi tugas, karena dalam naskah kami terdapat beberapa jumlah bab yang cukup banyak. Tak lama kemudian, aku dan Mbak Riska selesai. Kami segera memindahnya ke dalam satu flashdisc yang nantinya disetor kepada Pak Gunawan, teknisi IT sekolah yang akan membantu kami dalam proses pengiriman naskah.

     “Pak, ini untuk file-nya. Sudah kami ubah menjadi pdf Pak, tinggal di combine Pak.” ujarku sembari menyerahkan flashdisc.

     “Oke Ra. Ini sudah benar betul ya datanya?” tanya Pak Gunawan.

     “Sudah Pak, semoga.” jawabku

     “Oke. Ini saya combine ya?” tanyanya.

     “Siap Pak.” ujar Mbak Riska mantap.

     Jarum jam tengah menunjukkan angka 21.32 saat itulah naskah kami siap dikirim. Dengan memanjatkan doa bersama, aku dan Mbak Riska bertumpukan memegang mouse yang sudah siap pencet. “Bismillah, semoga diberikan yang terbaik ya Dek?” ujar Mbak Riska penuh harapan.

     “Iya Mbak, bismillah.” Jawabku.

     Detik itu juga, naskah kami sudah terkirim. Dengan was-was bercampur bahagia, kami belum berpindah posisi. Keempat mata kami masih saja memandangi layar komputer ruang ICT ini. Tak menunggu waktu lama, ada pesan masuk dari e-mail panitia lomba. “Terima kasih Anda sudah mengirimkan naskahnya. Tetap semangat dan berdoa. Jangan lupa pantau terus untuk mengetahui perkembangan penilaian dari tim juri. Terima kasih.” Itulah tulisan yang kami baca dalam layar tersebut. Akhirnya, di pukul 21.40, naskah kami sudah benar-benar terkirim.

     Tiga puluh menit berlalu, kami masih saja berada dalam ruang ICT sekolah. Yang kami lakukan hanyalah beberes selepas mengirim naskah lomba. Kudapati raut wajah Pak Gunawan yang semakin kemari semakin kusut. Tampak dari kedua matanya yang sudah tinggal beberapa watt. Seakan-akan hanya tinggal menyenggol saja, Pak Gunawan sudah ambruk. Aku yang melihat gerak gerik Pak Gunawan segera mempercepat langkahku. Kuraih tasku dan kumasukkan laptop ke dalamnya. Begitupun dengan Mbak Riska, dia masih beberes kertas-kertas yang berisi naskah revisian yang masih berserakan di meja ruang ini. Tak lama itu, kami selesai beberes dan siap untuk pulang.

      “Sudah Pak.” ujarku kepada Pak Gunawan yang juga tengah mengambil tasnya.

     “Oh, iya ayo pulang. Sudah nggak ada yang ketinggalan?” tanyanya dengan melihat seisi ruangan.

     “Insyaallah sudah Pak.” Jawabku dengan memeriksa semua barangku.

     “Iya Pak, sudah semua.” jawab Mbak Riska menambahkan.

     “Oke. Ayo pulang. Semua sudah dijemput?” tanya Pak Gunawan lagi.

     “Saya naik motor Pak, ini Dik Dara sudah dijemput.” jawab Mbak Riska.

     “Oh iya udah ayo pulang.” Ujar Pak Gunawan sembari bersama kami berjalan menyusuri lorong sekolah.

     Sang surya tengah berganti dengan rembulan, ceritaku hari ini berakhir di halaman sekolahku. Di kelembutan malam, aku dan Mbak Riska memandang indahnya nabastala berhias gemerlap bintang. Seakan penuh harapan yang terbaik untuk naskah kami. Semoga.

****

SEMUWhere stories live. Discover now