Alam

7 0 0
                                    

     Ndreettt!!!! Tiba-tiba saja ponselku bergetar. Aku yang tengah mengerjakan tugas serontak langsung kaget. Padahal jarang-jarang di jam pelajaran ini aku menerima pesan WhatApp. Alhasil aku yang tengah fokus ini mendadak menjadi merasa kepo. Dengan gerak gerikku yang penuh dengan was-was, aku mencoba menundukkan kepala, berharap Bu Ani yang sedang mengajar tidak mengetahuiku. Mulai kuraih ponsel yang berada di dalam loker yang berjarak sekitar tiga puluh senti dariku. Perlahan aku memencet tombol on di bagian sisi kiri ponselku. Kedua bola mataku kini mulai sibuk melihat setiap dari tulisan pesan yang tergambar dalam layar ponsel. Kata demi kata aku pahami betul-betul maknanya.

     “Dara... Ada lomba, sumpah keren banget. Temanya hampir sama kayak waktu kita lomba di Bandung kemarin. Ayo ikut yuk. Tapi waduh, aku kayaknya wis  nggak  bisa ikut. Mulai bulan ini wis harus fokus di OSK Dik. Piye ini? Sampeyan coba mengajak siapa gitu ya. Pokok semangat ya, di usahakan ikut ya Dik. Aku berharap banget kamu bisa ikut. Ini pamfletnya ya, coba Sampeyan pelajari ya. Makasih ya Dik.” Satu paragraf itulah yang kubaca dalam layar ponselku. Sebuah mandat yang diberikan oleh Mbak Riska mendarat begitu saja tanpa sebab. Aku yang membacanya langsung bingung. Memang benar tema yang disajikan dalam pamflet lomba itu sama, namun apakah dengan rekan kerja yang berbeda, apa aku bisa menyelesaikan hal itu dengan mudah? Itu saja yang terpikirkan dalam benakku sekarang.

****

     Satu minggu berlalu, dedaunan dari pohon-pohon jati itu masih saja menggugurkan daunnya untuk keberkian kalinya. Angin kemarau juga tak berubah, tetap berusaha mendinginkan semesta walaupun hasilnya tidak sesuai harapan. Keadaan masih saja terasa panas. Bahkan, aku masih harus menggerakkan tangan berulang kali dengan membawa kertas. Berharap, kesegaran menghampiri tubuhku yang mengeluarkan keringat.

     Aku duduk pada sebuah batang kayu yang terlintang di hutan sekolahku. Kupandangi seluruh alam yang ada di hutan ini. Kumelihat burung-burung yang terbang dengan eloknya, membentuk suatu barisan nan apik dipandang. Aku mulai bertanya-tanya, mengapa burung itu selalu ingin terbang bersama. Padahal jika dibayangkan, lebih enak terbang sendiri. Kapanpun dan dimanapun dia ingin bersinggah dapat dengan mudah diwujudkannya, tanpa harus meminta pendapat dari burung lain.
Kupandangi setiap kepakkan sayap burung-burung itu. kunikmati alunan berlalu makhluk Tuhan ini. Sebentar, kupandangi burung itu terbang berpindah tempat. Dia yang berada di belakang, entah mengapa berganti posisi dengan dia yang ada di depan. Sebuah kehebatan yang aku temukan pada burung itu. Semakin kemari, aku semakin paham. Burung terbang bersama bukan hanya karena mereka yang memang hidupnya berkelompok. Namun ada hal lain yang tersembunyi, yakni sebuah jawaban atas definisi kolaborasi. Bersama untuk mencapai tujuan yang sama. Kepakkan sayap yang digerakkan oleh burung-burung itu, menyiratkan betapa beratnya hidup. Banyak badai yang akan dilewati pada masa terbangnya. Tapi mereka percaya, jika mereka terbang bersama akan mendapati terbang yang lebih jauh dari sebelumnya. Mereka bisa bergantian menjadi yang terdepan, karena yang terdepan adalah yang akan mendapati kencangan sang bayu yang lebih besar. Ketika yang lain lelah, akan dikuatkan dengan yang lain.

     Tiba-tiba aku teringat pesan singkat beberapa minggu hari yang lalu yang mendarat begitu saja dalam ponselku. Sebuah kolaborasi. Yang kubayangkan sekarang ialah kolaborasi. Ketidakadaan Mbak Riska bukan suatu alasan untuk memaksaku berhenti berkarya. Tapi, ketidakadaan Mbak Riska menuntunku untuk mencari partner baru untuk berkolaborasi. Hal itu yang sekarang masih saja berputar-putar di pikiranku. Sebuah makna kata kolaborasi yang menghantarkanku keluar dari zona nyaman. 

     “Dara!!” suara yang tiba-tiba muncul dari belakangku. Sebuah alunan bunyi yang mengejutkanku, seketika membuat lamunanku pecah. Bak sekantong air  yang dibanting, lalu pecah dan mengalir entah kemana.

     “Hoi! Kebiasaan!” ujarku kepada Sinta yang tiba-tiba saja muncul.

     “Hehehe. Kamu ngapain Ra?. Musti nggak jelas disini” tanyanya menyindir.

     “Eeee, bermanfaat ya aku disini.” ujarku membela diri.

     “Bermanfaat apaan, orang ya disini Cuma lihatin pohon-pohon.” ujarnya menjatuhkan.

     “Wadow, bahaya. Ini ni akibatnya kalau nggak suka alam. Alam itu banyak mengajarkan sesuatu. Coba lihat pohon jati. Dia selalu  menggugurkan daunnya di setiap musim kemarau.” ujarku sembari menunjukkan beberapa daun jati yang berserakan di halaman hutan.

     “Terus apa pengajarannya?” tanyanya lagi.

     “Ya kan. Itu dapat diibaratkan ketika kita bertemu atau berada di lingkungan baru, kita harus siap beradaptasi. Seperti halnya pohon jati yang meranggas untuk mempertahankan hidup. Jadi dimanapun kita harus bisa memposisikan diri kita agar bisa menerima dan diterima oleh keadaan.” jawabku menerangkan.

     “Asiap. Udah ni kalau sastrawanku sudah ngomong. Quotes-nya harus segera dicatat, keburu lupa. Hehehe.” celetuk Sinta dengan langsung membuka ponsel dan mencatatnya.

     “Kebiasaan.” ujarku sembari berdiri. Sinta yang melihat tingkahku langsung ikut berdiri. Kami berdua perlahan meninggalkan hutan sekolah kami. Langkah demi langkah kami menyusuri jalanan hutan sekolah menuju gedung sekolah, kami bercanda gurau. Bercengkrama sembari menikmati indahnya dunia Illahi. Di senja yang indah ini, kami berdua berhenti pada satu titik. Depan gerbang sekolah, tempat menikmati indahnnya lukisan Illahi bersama. Tak hanya itu, kami juga bertemankan sekantong gorengan yang di beli Sinta siang tadi.
Hari ini, aku belajar tentang kehidupan bersama alam. Tiba-tiba aku teringat mandat Mbak Riska yang tergambar di layar ponselku. Bersama alunan mega senja hari ini aku menata hati dan niat, bahwa besok aku akan mencari partner baruku. Orang yang akan berkolaborasi denganku membentuk karya anak bangsa yang luar biasa. Semoga.

****

SEMUWhere stories live. Discover now