Prolog

28.9K 1.5K 22
                                    

Hari itu

Air matanya terus saja mengalir. Sekalipun ini bukan dukanya, bukan sakitnya, tapi entah kenapa dia seperti merasakan apa yang Sam rasakan. Sorot mata laki-laki yang berdiri dihadapannya itu penuh dengan duka hebat.

"Sha, jangan nangis." Sam tersenyum miris, terlihat pasrah dan putus asa. "Tadi kamu udah janji kamu nggak akan nangis. Jangan nangis Sha." Satu tangannya berusaha menghapus jejak air mata itu. Gadis dihadapannya ini, masih memiliki hati yang sama seperti dulu.

"Aku..." Asha menelan salivanya. "Aku nggak tahu harus ngomong apa Sam."

Lalu air mata itu meluncur turun juga, tapi bibirnya tersenyum. Dia sudah pasrah, karena paham tidak ada lagi yang bisa dia lakukan kecuali pasrah. "Kamu nggak perlu ngomong apa-apa Sha. Dengerin aku aja, itu sudah lebih dari cukup."

Pecahlah tangis Asha. Dia harusnya bisa menghibur Sam saat seperti ini, bukan malah menangis sesunggrukkan seperti orang bodoh dan malah memperburuk suasana hati laki-laki itu. Kedua tangannya sudah menutupi wajah. Lalu dia merasakan tangan Sam merengkuhnya lembut. Sam memang selalu berperilaku lembut padanya sedari dulu.

Dia paham dia butuh semua kekuatan yang dia punya saat ini, termasuk kekuatan orang-orang terdekatnya. Jadi dia memutuskan untuk memeluk Asha. Karena sungguh dia ingin jatuh bersimpuh saja. Ini terlalu berat untuknya, sungguh-sungguh berat.

Setelah beberapa saat, tangis Asha sudah mulai reda. Sam menyadari itu dan dia menjauhkan tubuhnya dari Asha.

"Aku cengeng ya? Maaf Sam, aku harusnya nggak nangis begini."

Sam tertawa lirih. "Kamu memang kelihatannya cuek dan nggak perduli Sha. Tapi, aku tahu kamu yang sebenarnya. Terimakasih, karena sudah jadi pendengar yang baik."

Asha hanya tersenyum saja.

"Kamu sendiri gimana? Apa masih sama Tata?"

Kali ini Asha yang termangu. Mengingat dinginnya sikap Tata sejak berbulan lalu. Kepalanya menggeleng perlahan, untuk mengusir bayangan akan hubungannya yang sudah terjalin hampir setahun lamanya dan saat ini berpotensi tinggi untuk kandas. Lalu sedih itu merayap lagi mencengkram hatinya yang masih nyeri.

"Hey, what's wrong? Mau gantian cerita?" Sam menyentuh bahu Asha perlahan.

Asha menggeleng lemah. Sedihnya kali ini tidak akan sebanding dengan apa yang sedang dilalui Sam. Dan dia disini untuk mendukung Sam kan? Bukan berkeluh kesah tentang masalahnya sendiri.

Sam berdecak kesal, paham benar Asha tidak akan bercerita padanya. "Sini, kalau nggak mau cerita, aku peluk lagi. Biar enakan." Tangan Sam langsung merengkuh Asha lagi. Kali ini, dia akan membagi sedikit kekuatannya pada Asha yang sepertinya sedang sama menderitanya seperti dia.

Tangan Asha sudah melingkari pinggang Sam. Hangat, rasanya hangat.

"You know hugging feels more healing rather than kissing." Sam berbisik ditelinganya.

Asha tersenyum kecil. "Yeah, because kissing will end up in bed."

Sam tertawa sebelum melepaskan pelukannya.

***

Mata laki-laki itu menatap dari balik pintu. Tangannya bahkan masih menggenggam handle pintu kuat sekali. Menahan diri untuk tidak merangsek masuk dan mengamuk melihat apa yang sedang terjadi antara Asha dan Samudra, mantan pacar gadisnya itu. Hanya itu yang dia tahu.

***

Asha berkendara menembus malam. Pikirannya melayang pada apa-apa yang Sam katakan kemarin malam.

'Kalau kamu beneran cinta, kejar Sha. Jangan diam saja. Perjelas semuanya. Laki-laki itu mahluk logis, jadi biasanya mereka punya alasan atas apa yang mereka lakukan.'

Jadi dia disini, berusaha menggapai Tanandra lagi. Kali ini dia tidak akan menyerah begitu saja. Dia akan bersikukuh berdiri dan tidak mau pergi lagi. Karena sungguh Tanandra adalah sosok yang berbeda. Sosok yang membuat dia berhenti mencari. Dan dia tahu, dia sudah jatuh cinta, benar-benar jatuh cinta kali ini.

Malam itu hujan deras mengguyur. Untung saja Asha mendapatkan parkir di basement bawah, jadi dia tidak perlu berlari menuju loby apartement Tanandra. Lalu dia turun. Ponselnya berbunyi.

"Udah sampe?" Suara Mareno diujung sana.

"Baru nih. Lo udah di airport?"

"Udah. Salam ya buat Andra. Gue bakalan lumayan lama disana. Bilang dia suruh main kesana sekali-kali bareng sama lo. Siapa tahu bulan madu." Mareno meledek Asha.

"Yah Ren. Bulan madu mah masih jauh, orang dia pulang kemarin aja nggak bilang kok sama gue.

Reno tertawa. "Tadi gue telpon dia nggak diangkat, mangkanya gue telpon lo. Gue pikir lo udah bareng dia."

Setelah selesai mengucapkan sampai bertemu lagi pada Mareno, salah satu kawan Tanan, Asha turun dari mobil sambil tersenyum.

Bibirnya masih menyunggingkan senyum ketika dia keluar dari lift. Membayangkan bahwa dia akan memberikan kejutan yang manis untuk Tanan. Dugaannya laki-laki itu masih tidur karena jetlag sisa penerbangan kemarin malam.

Dia sudah tiba didepan pintu. Menarik nafas itu baik sekali untuk menenangkan debaran jantungnya sendiri. Jadi setelah tarikan kedua dan hembusannya kembali, tangannya mengetuk pintu. Karena sadar belum ada sahutan, dia mengetuk lagi.

Pintu itu terbuka. Ada perempuan cantik yang hanya menampakkan kepalanya sambil tersenyum padanya.

"Hai." Tangan Asha menggenggam tali tasnya erat sekali. Ini bukan yang dia ingin lihat. Tidak begini.

"Oh hai. Cari Esa?" Gestur tubuh wanita itu menjadi lebih santai karena tahu tamu ini adalah perempuan. Tangannya sudah membuka sedikit lebih lebar pintu sehingga menampakkan seluruh tubuhnya yang hanya berbalut handuk mandi saja. Rambutnya basah. "Dia lagi mandi di kamar. Mau masuk dulu?"

Kaki Asha melangkah mundur ke belakang. Lalu suara itu, suara berat dan dalam Tanan yang sedikit berteriak dari kamar mandi.

"Hon, bisa ambilin handuk nggak?"

"A minute Darling." Kepala wanita itu menoleh sejenak ke arah kamar lalu sambil tersenyum lalu kembali menatap Asha. "Yuk masuk aja. Aku panggilin dia."

Hatinya mulai berdenyut nyeri. Sungguh ini seperti ditikam belati. Darahnya memang tak kasat mata. Tapi tubuhnya yang menegang dingin dan wajahnya yang pucat menandakan dia tidak baik-baik saja.

'Honey, he call her Honey. Yeah, of course Sha. You're not his Honey anymore. He's just another bastard.'

"Hooon, handuk please." Suara Tanan lagi.

"Kamu nggak apa-apa?"

Asha menelan salivanya perlahan, berusaha menguatkan diri. "Maaf, kayaknya saya salah alamat. Saya mau cari Erick, apa ini apartemennya?"

"Oh bukan, pemilik apartemen ini namanya Mahesa."

Asha mengangguk perlahan. Dia tidak salah alamat. Hanya salah waktu dan salah tempat untuk meletakkan hatinya. Lalu dia tersenyum miris, kemudian melangkah pergi.


Love, Hate and Something in between (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang