Sepuluh

8.3K 1K 40
                                    

Refleks kaki Asha berhenti, benar-benar berhenti seperti dunianya saat ini. Jena bahkan masih terus berjalan karena tidak tahu bahwa sahabatnya sudah tertinggal empat langkah di belakangnya. Dia tidak ingin menatap sosok itu. Sosok yang menjungkir balikkan dunianya dulu. Kenapa bisa ada dia? Kenapa dia ada disini? Dari semua tempat di Jakarta Raya, kenapa disini?

Mata laki-laki itu menatap lurus kedepan, seolah tidak melihatnya. Tubuhnya yang tegap dan tinggi dibalut setelan kemeja dengan jas tanpa dasi. Wajah itu...ya Tuhan Asha benar-benar gemetar dan ingin jatuh saja ke lantai. Dia tahu laki-laki itu sadar benar bahwa ada dia didepannya. Namun memilih untuk menatap lurus saja dengan ekspresi datar tidak terbaca.

'Ashaa!!! Sadaaar!!! Jalan Asha, jalan!!!" Pikiran warasnya sudah berteriak memperingati. Lalu kakinya melangkah mantap menyusul Jena.

Tubuh mereka tidak berjarak jauh. Hanya beberapa langkah saja, saling melewati seolah mereka adalah orang asing. Ya, mungkin memang saat ini mereka adalah orang asing untuk laki-laki itu. Tapi tidak untuknya. Hatinya masih terasa nyeri seolah baru kemarin terjadi. Apalagi mengetahui bahwa pertemuan mereka kali ini juga hanya lalu saja. Seolah semua kenangan yang mereka jalin dulu tidak ada harganya. 'Atau apa memang begitu? Apa itu maumu Ta?' Asha sudah ingin meratap saja.

Jena berhenti, menyadari temannya tertinggal dibelakang, dia menoleh dan melihat wajah Asha pucat pasi tapi sudah melangkah menyusulnya. Barusan saja mereka berbincang dan tertawa. Pasti ada yang terjadi. Setelah Asha berdiri disebelahnya, dia bertanya khawatir.

"Sha, lo nggak apa-apa?"

"Pergi dari sini Je. Kita pergi dari sini." Asha hanya berbisik dan Jena mengangguk tidak mengerti.

Sesampainya di restoran.

"Air putih Mas, yang hangat ya." Ujar Jena ketika mereka melangkah masuk ke dalam restoran.

Alya, Sandra, Widya sudah ada disana dan sedang bercanda ria. Membicarakan sang Finance Director yang baru. Ketika Jena dan Asha duduk dengan wajah kusut mereka langsung diam.

"Sha, lo kenapa kok pucat banget?" Alya bertanya khawatir.

Asha hanya menggeleng kuat. Jena yang duduk disebelahnya sudah menyodorkan air putih hangat dalam gelas ke Asha. "Minum Sha. Cerita ke kita ada apa? Lo sakit Sha? Nggak enak badan ya?"

Mata Asha menatap kosong, tubuhnya dingin. Tangannya bahkan mendekap tubuhnya sendiri saat ini. Sementara pikirannya sudah terbang melintasi waktu yang berputar kembali ke belakang.

***

Lima tahun yang lalu

"Kapan pulang Ta?" Dia sedang didapur kecilnya sedang memasak Indomie sore itu sambil menelpon kekasihnya.

"Sebentar lagi. Sabar ya."

"Kamu bilang begitu terus dari bulan lalu. Nggak kangen, tega sama aku."

"I miss you too Hon. As much as you do." Tanan tertawa disana, paham benar saat ini Asha sedang merajuk dan dia selalu suka ketika gadisnya sedang bermanja-manja.

Senyumnya terbit, dia selalu suka dipanggil begitu. "Pindah kerja aja deh. Aku nggak mau jauh-jauhan begini terus."

"Aku harus nabung yang banyak buat kita."

"Aku juga punya tabungan. Udah nggak usah banyak-banyak nabungnya. Kita nikah sederhana aja nanti. Jadi nggak perlu habis banyak."

"Aku mau punya rumah dulu untuk kamu Hon."

"I don't need a house, I need you." Indomienya sudah jadi dan dia sedang duduk di meja makan kecil dalam apartemennya.

Tanan menghela nafasnya diseberang sana. "Masak apa? Baunya enak." Dia mengalihkan pembicaraannya.

Love, Hate and Something in between (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang