Bagian 2

103 14 4
                                    

Di awal kamu boleh saja terpuruk, tapi setelahnya kamu harus bangkit. Kamu juga berhak bahagia.

-DI AKHIR SENJA

•••

Ruangan berwarna pastel, dihiasi dengan bingkai foto yang berukuran besar berjejer rapi di dinding. Foto keluarga, foto pernikahan Guanna dan Kirana, foto masa kecil Reina, hingga foto memakai jas dokternya.

Pandangan laki-laki itu turun, beralih menyoroti setiap bingkai foto berukuran sedang yang tersusun rapi di meja. Terlihat di sana foto dua orang gadis kecil bersama seorang bocah laki-laki kecil. Bisa dipastikan, itu foto masa kecil Reina, Juandra, dan Almarhumah Anya.

Sorot mata itu berpindah, mengarah ke bingkai lain di sebelahnya. Terlihat foto Reina tengah berada di tengah, dan diapit oleh kedua orang tuanya. Terlihat begitu... hangat.

Sementara bingkai yang lainnya, memperlihatkan foto Reina dengan bi Wati. Gadis itu tengah duduk bersandar di bahu wanita tua itu. Terlihat menggemaskan.

"ADUH!" pekikan itu membuat Devano menoleh. Mendapati Reina yang merengek layaknya anak kecil saat betadine teroles ke lututnya.

"Kumaha atuh Neng, bisa jatuh?" Bi Wati terlihat sangat cemas melihat gadis itu menahan sakitnya. Ia mencoba meniup-niup luka di lutut gadis itu agar perihnya berkurang.

Sementara Reina malah terkekeh mendengar pertanyaan bi Wati. "Bibi mah kayak baru kenal Reina kemarin aja."

Pletak!

Sebuah jari mendarat di dahi gadis itu. Menjitak atas keningnya dengan keras, membuat Reina meringis.

"Dikhawatirin malah ketawa!" ujar laki-laki itu, membuat seisi ruangan melongo melihatnya. Bahkan Kirana dan Guanna ikut melongo.

"Dev, kamu jitakin aku di depan Mama sama Papa. Kalau nanti kita gak direstuin gimana?"

Devano perlahan memutar kepalanya, pandangannya menangkap dua orang tua yang menatapnya tajam. Ia menelan salivanya kasar, sebab tadi tangannya tidak bisa diajak kompromi dan refleks mendarat di dahi gadis itu.

"Tante, Om, maaf. Devano tidak bermaks..."

Belum juga ucapan Devano selesai. Kedua orang tua Reina mengangkat jempol mereka bersamaan.

"GOOD!!!" ujar mereka. Itu membuat putrinya membulatkan mata.

•••

Aletta mengusap lembut puncak kepala putri kecilnya yang tertidur. Ia menatap dalam-dalam Anya kecil, sembari tersenyum. Gadis kecilnya terlihat begitu menggemaskan, bahkan saat tidur.

"Gimana keadaannya sekarang?"

Suara dari luar kamar membuat perhatian Aletta beralih. Ia turun dari ranjang dengan hati-hati. Setelah memastikan selimut menutupi tubuh putrinya sampai dada, ia mencium kening gadis mungil itu. "Tidur yang nyenyak, sayang."

Ia keluar dari kamar Anya, lalu menutup pintu kamar itu. Dengan hati-hati ia melangkah menuju sumber suara. Langkahnya tertahan, matanya menyorot Juandra (suaminya) tengah menelpon dengan raut wajah khawatir.

"Terluka? Rein, lo kebiasaan banget tau gak!"

Aletta mengangguk paham. Ia ber'oh riah saat mengetahui siapa yang ditelpon Juandra. Reina Elatta pastinya. Ia juga sudah tahu bahwa, Reina pasti habis terjatuh.

"Gue ke situ sekarang."

Setelah mengatakan itu, laki-laki itu menutup telponnya. Ia mengambil jaket dan kunci mobil. Namun, gerakannya tertahan saat menyadari seseorang berdiri beberapa meter darinya. Itu istrinya, Aletta Aleah.

"Sejak kapan kamu di situ?" tanya Juandra. Ia berjalan mendekati Aleah. "Anya sudah tidur?"

"Sudah." Aletta meraih jaket di tangan Juandra, lalu memakaikannya. Setelah itu, ia berjalan menuju meja dan membuka lacinya. Lalu kembali ke hadapan Juandra, "Plaster lukanya jangan lupa."

Juandra tersenyum, ia mengacak gemas rambut Aletta lalu meraih plaster luka itu. "Terima kasih."

Setelahnya, ia berlalu menuju ke tempat Reina berada.

•••

Mobil Juandra memasuki kawasan tempat Reina tinggal. Ia menghentikan mobilnya saat mobil putih keluar dari sana, lalu berbelok ke arah rumah bertingkat di sebelahnya. Juandra tahu, itu pasti Devano.

Ia kembali melajukan mobilnya, masuk ke halaman rumah Reina.

"Juan, Reina gak apa-apa." Reina sumringah. Ia duduk manis di ranjang, sementara Juandra berjongkok di depannya.

Juandra menghelah napas dalam saat memastikan kaki gadis itu. Ada lebam berwarna biru di betisnya, dan juga di lututnya ada goresan luka.

"Reina, bisa nggak sehari aja gak buat gue khawatir?" Juandra merogoh kantong jaketnya, lalu mengeluarkan plaster dari sana. Tidak butuh waktu banyak, ia langsung menempel plaster itu di lutut gadis di depannya. "Lo itu Dokter. Harusnya lo bisa rawat diri lo dulu, sebelum rawat orang lain."

Gadis itu mengulum senyum, lalu mengacak rambut Juandra dengan gemas.

Laki-laki itu meliriknya tajam, "Dasar bocah!" umpatnya kesal. Sebab, Juandra paling tidak suka tatanan rambutnya dirusak.

"Pulang sana! Udah malam. Reina mau istrahat."

Laki-laki itu melirik jam di nakas. Sudah menunjukkan pukul 22.05. Ia beranjak dari tempatnya, dan duduk di samping gadis itu. "Gue pulang, ya. Lo tidur yang nyenyak."

"Siap, Pak Juandra!" Gadis itu mengangkat tangan kirinya membentuk hormat. "Jangan lupa matiin lampunya."

Juandra berdiri, ia melangkah menuju saklar lampu untuk mematikannya. Tidak lagi seterang tadi, sisa cahaya remang-remang. Juandra menoleh ke arah lampu tumblr yang menghiasi dinding kamar itu. Foto-fotonya bersama Reina dan Anya masih menggantung di sana. Lalu pandangannya kembali menatap ke arah Reina. Gadis itu sudah berbaring dan memejamkan mata, dengan selimut yang menutupi tubuhnya sampai batas dada.

"Tidak! Ini tidak benar!"

"Juan, bilang kalau ini mimpi! Anya tidak bakal ninggalin Reina!"

"Anyaaaa banguuunnn..."

Tatapan Juandra nanar. Ingatannya kembali di hari kepergian sahabatnya, Anya. Hari itu mereka benar-benar terpukul. Goresan luka itu masih ada.

Setiap orang memiliki goresan lukanya sendiri. Begitu juga dengan cara menyembuhkannya, mereka punya waktunya masing-masing. Namun, yang perlu diingat. Di awal kamu boleh saja terpuruk, tapi setelahnya kamu harus bangkit. Kamu juga berhak bahagia.

Semburat senyum tipis terpancar di wajah laki-laki itu. Ia melangkah keluar, "Good night, Rein." Lalu menutup pintu kamar Reina.

Gadis itu perlahan membuka mata, lalu menoleh. Ia menatap pintu kamarnya yang sudah tertutup. "Night, Juan."

Bersambung...

Di Akhir SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang