Pertemuan Pertama

1.3K 99 10
                                    

Fiorentina Cressida seorang gadis berusia 21 tahun dengan ukuran tubuh tinggi ramping dengan kulit putih semulus porselen. Warna mata kecokelatan mendekati hazel diturunkan dari Kakek Fior yang seorang warga negara Belanda. Wajahnya sangat Indonesia dengan rambut hitam sebatas bahu. Setelah menyelesaikan studi Strata 1 Manajemen Informatika, Fior mengirimkan lamaran ke beberapa perusahaan dan mengikuti setiap seleksinya namun gagal. Sulitnya memperoleh pekerjaan di Ibukota tidak lantas membuatnya menyerah.

Hingga suatu pagi sebuah surat dikirimkan ke alamat surelnya, dia berteriak keras hingga berguling-guling diatas ranjang.

Kepada Nn. Fiorentina Cressida.
Di Tempat.

Melalui surat ini saya mengundang Saudari untuk mengikuti seleksi wawancara bertempat di gedung utama FARMACO CORP.
Diharapkan tiba tepat waktu. Terima kasih atas perhatiannya.

Hormat saya,

Ferry Santoso
CHIEF HRD FARMACO CORP.

Fior bergegas turun dari kamar, menyusuri tangga sambil menari riang dan menemukan sosok yang dicari sedang berada di dapur.

"Mami. Fior dipanggil wawancara di FARMACO. Perusahaan yang Fior idamkan itu, Mi." Dengan riang Ia duduk dan menumpukan tangannya di atas meja dapur, mirip anak anjing manis yang menunggu diberi makan.

"Kamu itu, nanti juga ditolak nangis. Sudah berapa kali panggilan kan." Ucap Mami sekilas menoleh pada Fior tersenyum lembut.

Bibir Fior menekuk tidak setuju. "Kali ini harus lulus, Mi. Soalnya kantor ini juga dekat sama rumah kita, terus ada gebetan Fior yang kerja disana. Bahagianya..." Ucap Fior tersenyum lebar penuh semangat.

"Tes nya kapan, Kak?"

"Pagi ini, Mi. Doain ya."

"Kamu sarapan dulu ya."

"Siap...!"

********************

Fior tidak mengira akan menghadapi CEO Farmaco pada wawancaranya hari ini. Sebelumnya Ia sudah mengetahui tentang Macan Farmaco dari rumor yang beredar, tapi tekadnya sudah bulat. Franco Dimas William, pemilik Farmaco Corp tengah duduk di balik meja dengan setelan jas berwarna gelap. Tidak ada kacamata yang menghias wajah, tidak ada senyuman, bola mata itu tajam dibawah garis alis yang tebal dan hitam.

Mata Fior menyusuri lengan berotot dan berakhir di jemari ramping panjang yang tengah memegang bolpoin. Kemudian lengan itu terangkat dan menggebrak meja hingga bolpoin nya terpelanting jauh ke lantai.

Fior menelan ludah dengan gugup. Ia mendengar pria itu berkata geram. "Sekretaris sialan. Pena kosong diletakkan di atas meja." Bunyi terdengar ketika tangan pria itu menarik telepon genggam dengan kasar. "Kau mau dipecat? Ke ruangan ku sekarang, bawa bolpoin."

Perangai itu, batin Fior. Demi apa, Fior? Semua demi bisa bekerja satu kantor dengan senior yang selama ini Ia suka.

Pintu dibuka dan seorang wanita muda masuk dengan wajah pucat. "Maaf, Pak. Saya lupa mengganti bolpoin Anda."

"Sudah berapa lama kau menjadi sekretaris?" Tanya Si Macan.

Suara wanita itu bergetar saking gugupnya. "Satu tahun, Pak."

"Kau mau pindah ke divisi lain?"

Wanita itu mengangguk cepat.

"Ajari anak magang ini, jika dia lulus kau boleh pergi ke divisi manapun yang kau mau."

Wanita itu lalu tersenyum puas seraya menatap Fior penuh harap.

"Tapi, Pak. Saya tidak melamar bagian sekretaris, saya membuat lamaran untuk divisi marketing."
Karena disanalah tujuan utama Fior. Farel Gunawan adalah ketua divisi tersebut, berada satu ruangan dengan Kak Farel adalah impian Fior selama ini.

Fior diserang dengan tatapan tajam penuh dominasi oleh Franco.
"Kau boleh pulang jika tidak setuju."

Jemari Fior memainkan liontin yang dikenakannya, refleks ketika Ia merasa bimbang. Tanpa disadari kancing paling atas kemejanya tersingkap menampakkan kulit mulusnya.

Franco memperhatikan gadis itu sejak pertama kali melangkahkan kaki ke dalam ruangan. Dengan lancang anak magang itu tidak menutup semua kancing kemeja dengan rapi, sengaja memamerkan tulang belikat dibalut kulit putihnya yang mulus. Mulanya Franco akan menempatkan pemagang itu di tempat asalnya, namun ketika rambut hitam diatas bahu itu bergoyang lembut dan aroma wangi semerbak mengganggu hidungnya, Franco berniat memerangkap gadis itu selamanya.

"Pergilah, kau membuang waktuku." Bentak Franco.
"Serli, antarkan nona ini keluar dan siapkan berkas rapatku."

"Tunggu." Fior berdiri dan menjawab pasti. "Saya bersedia. Tolong bimbing saya."

"Bagus." Franco mengambil tas tangannya dari atas meja dan menyerahkannya pada Serli. "Kau tetap disini, bersihkan ruangan ini sampai Serli kembali."

Fior melongo, membeku.

"Kau dengar tidak, sih? Bersihkan..."

"Siap, Pak. Saya mengerti."

"Jangan membuang berkas apapun, cukup bersihkan debu disana sini. Beli pengharum ruangan, apa saja, letakkan di ruanganku."

Kepala Fior mengangguk cepat. Serli sekretaris Franco telah keluar duluan ketika pria itu berjalan mendekat. Tubuh  Fior cukup tinggi masih kalah dengan tinggi Franco yang menjulang diatasnya.

"Bagaimana aku harus memanggilmu?" Pertanyaan itu membuat Fior bingung.

"Fior, Pak."

"Jadi, Fior. Kancing kan kemejamu dengan benar. Kau mau kerja apa mau ditiduri!" Suara lirih Franco diakhiri bentakan membuat sekujur tubuh Fior bergetar.

Fior terdiam, setengah terguncang ketika jemari Franco meraih dua kancing paling atas kemeja Fior dan mengaitkannya.

Fior masih menunduk, tidak berani menatap mata tajam didepannya. "Tidak ada pegawai yang diperlakukan istimewa di tempat ku. Jadi jangan pernah kabur, apapun yang terjadi. Kau mengerti?!"

"Saya mengerti, Pak."

"Bekerjalah dengan giat. Aku tidak suka melihat orang ber malas-malas an."

Kemudian pria itu berbalik pergi meninggalkan Fior yang masih terguncang.

******"****
To be continue

Love Him If You Dare!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang