Part.3

608 67 5
                                    

Kelopak mata Fior membuka dengan perlahan. Cahaya temaram dari bohlam di atas meja nakas menaungi ruangan yang tidak Fiora kenali. Lukisan burung gagak tergantung di dinding berwarna abu-abu, beberapa bagian dinding juga dipasang bata putih serta sebuah jendela besar yang hanya ditutupi vitrase berwarna pucat.
Fior menggeser posisi tidurnya ke samping dan mendapati sesosok pria berbaring tepat di sebelahnya.

"Franco." Fior tidak sengaja menyebut nama boss nya.

"Kau curang, Fiora." Ucap Franco lirih dengan mata yang masih tertutup. Alis nya yang gelap bergerak dan bola mata kelabu Franco bersinar di tengah suasana remang.

Fiora terkesiap duduk untuk menjauh. "Mengapa aku berada di kamar mu?"

Untaian rambut yang jatuh di pelipis membingkai wajah tampan Franco membuat pria itu semakin memesona. Bahkan dalam keadaan tidak waspada, pria itu tetap meresahkan.

"Delapan jam." Tatapan pria itu menggetarkan seluruh saraf Fiora. "Delapan jam aku menunggumu sadar, apa kau ini putri tidur? Atau sengaja mengelabui agar tidak dicium."

Fiora memalingkan wajahnya. Pipinya memerah tanpa bisa dicegah. "Seharusnya kau membawaku ke rumah sakit. Aku tadi tidak sadarkan diri."

"Apa kau lupa aku juga seorang dokter? Tidak ada yang salah di tubuhmu, Fiora. Kau hanya butuh istirahat. Aku sudah membiarkanmu tidur, sekarang giliran ku."

Franco bangkit perlahan dan mendekati Fiora. Amat perlahan hingga Fiora tidak menyadari tiba-tiba tubuhnya direngkuh ke dalam pelukan.

Mengapa aroma tubuh Franco amat memabukkan. Apakah karena pria itu mengenakan parfum Prancis yang dirancang untuk menggoda lawan jenis, ataukah memang otak Fiora bekerja tidak normal malam ini. Yang Fiora tahu, ia membiarkan jemari pria itu menggerayangi tubuhnya. Sedangkan bibir yang mencumbu lekukan lehernya meninggalkan jejak basah.

Jemari Franco membuka dua kancing mutiara di bahu Fiora.

"Tunggu" Tukas Fiora gugup, lidahnya begitu kaku untuk memprotes. Kedua tangannya mendorong tubuh pria itu.

Franco mengangkat wajahnya, namun ternyata ide yang buruk menginterupsi kesenangan pria itu. Sepasang bola mata yang tengah menatapnya tajam persis mata burung elang yang marah ketika mangsanya hendak melarikan diri.

Tenggorokannya tercekat, Fiora menelan ludah dengan gugup. "Kau sudah janji padaku tidak akan meniduriku."

"Apa mencium di leher termasuk meniduri?" Suara Franco terdengar jengkel. "Aku menahan diri beberapa jam ini hingga rasanya akan meledak."

Bibir Fiora direnggut kedalam ciuman yang basah penuh gairah. Bibir Franco bermain kasar di bibirnya hingga Fiora merasa bagian bawah tubuhnya berdenyut gembira. Jemari pria itu merenggut rambutnya dan menariknya hingga kepala Fiora dipaksa menengadah. Ia mengerang diantara nyeri dan nikmat. Lidah Franco menyusup masuk ke dalam mulut Fiora melakukan gerakan menghisap dan menjilat. Fiora belum pernah dicium seperti Franco menciumnya. Begitu intens, bergairah, liar dan memabukkan. Dunia berputar putar di sekelilingnya. Franco melepaskan diri ketika meloloskan blouse Fiora keatas kepala.

"Franco, kumohon." Desahnya.

"Aku bersumpah tidak akan menyakitimu, Fiora."

Fiora lemas ketika tubuhnya dibaringkan diatas ranjang. "Franco, aku tidak tahu. Kurasa ini salah." Fiora mengumpulkan kepingan akal sehatnya yang tersisa. Rasa malu membanjiri aliran darahnya hingga ke muka ketika memandangi Franco melucuti kemeja dan celana panjangnya.

"Sudah kukatakan padamu, aku bisa meledak jika tidak memasukimu saat ini juga. Jika harus memaksamu, maka akan aku lakukan."

Tatapan mereka bertemu. Fiora tahu ia tidak akan pernah menang melawan pria itu. "Franco...." Pria itu menurunkan pakaian dalamnya.

"Buka kakimu, Fiora. Kumohon."

Dalam hatinya ia memberontak, namun tubuhnya menghianati. Tubuhnya pasrah ketika Franco menurunkan kekuatannya mencoba menembus pertahanan Fiora. Ia terpekik. Percobaan pertama gagal.

"Shit!" Pria itu mengumpat keras. "Kau masih perawan."

Seperti disayat, Fiora meringis ketika Franco memaksa masuk lagi.

Franco mencumbu puncak dadanya dengan gerakan mengulum dan menghisap.

"Cobalah lebih rileks, Fiora." Perintah pria itu.

Fiora menurut dengan patuh. Ia menjerit ketika perih semakin kuat terasa. Dan ketika mereka menyatu, Fiora merasa ringan dan seolah akan terbang. Dentuman demi dentuman mengguncang dunianya. Kenikmatan menguasai Fiora dari puncak kepala hingga ujung kakinya. Franco mengerang dan menjerit bersamanya, hingga mereka terhempas dan mendarat di atas ranjang dengan perasaan lega dan senang.

Fiora direngkuh ke dalam dekapan Franco. "Kau milikku."

********

Keesokan harinya.

"Franco, kumohon jangan disini."

Beberapa menit yang lalu Fiora dipanggil ke ruang kerja Franco untuk mengantarkan berkas rapat sore nanti. Namun setibanya di ruang kerja bossnya, ia malah dikurung ke dalam perangkap Franco.

Fiora berada di pangkuan pria itu, dicium dengan penuh nafsu.

"Jangan begini, tidak enak dilihat yang lain."

"Tidak ada yang akan lihat, aku sudah mengunci pintu."

"Franco, hentikan!."

Fiora menepis tangan Franco yang berada di balik roknya.

Tatapan itu lagi, Fiora kesal karena harus selalu menurut. Ia beranjak dari kursi Franco lalu berjalan ke arah sofa.

"Tidak ada yang berani menolakku sebelumnya." Ucap Franco ketus.

"Bukan soal berani atau takut. Tapi tentang pantas atau tidak pantas."

"Jangan mendebat, Fiora. Kau merusak mood."

"Aku ada janji makan siang diluar, dan ada beberapa hal yang harus dibahas dengan kak Farr,-"

Sebuah vas kaca melayang ke udara menghempas di dinding tidak jauh dari Fiora berdiri. Fiora membeku di tempat. Rahangnya mengeras menahan amarah. "Apa kau sudah gila?!"

"Jangan pernah pergi dengan pria manapun selain aku." Pria itu membentaknya. Dengan keras. "Kau dengar aku?!"

"Apa aku pernah menjanjikan hubungan denganmu, Tuan Franco?"

"Apa kau tidak mau menjadi kekasihku?"

"Tidak." Jawabnya lugas.

Dahi Franco mengerut sebelum akhirnya tertawa dingin. "Aku merenggut keperawananmu. Perlukah Farrel kuberitahu tentang itu?"

"Aku menyesal telah mempercayaimu." Ungkap Fiora.

"Ucapanku tulus. Aku ingin menjadi kekasihmu."

"Kekasih yang posesif dan semaunya sendiri. Meniduri kekasihnya dimanapun dia suka dan kapan pun dia mau."

"Tepat sekali. Aku tidak menyangka kau memahamiku sebanyak itu."

"Kau jadi banyak bicara, Franco."

"Karena kau, brengsek. Aku belum pernah meyakinkan wanita. Sebelumnya mereka dengan rela mendatangi ranjangku. Kemari lah, Fiora. Cium aku."

"Aku harus pergi sekarang."

"Fiora!"

Suara bantingan pintu mengakhiri pertengkaran mereka.

******
Tobe continued.







Love Him If You Dare!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang