[🐤] Dua

68 7 77
                                    

Yakin hanya dia yang terdepan?

---

Kriiet...


Pintunya tak dikunci, bagus. Kali ini aku tak terlambat. Tapi, lampunya kok mati? Ah, mungkin ibu lupa membayar tagihan listrik.

Aku melangkah pelan sambil mengatur irama jantung yang sudah tak karuan. Dalam kondisi gelap, aku mencoba mencari tombol lampu, berharap terang dan BRAKKKK!!!!

Aku tersungkur jatuh, melangkahi tali semacam jebakan jahil entah dari siapa. Aku belum menemukan tombol lampu itu. Aku meraba semua yang ada dan tanganku berhenti pada benda yang dingin, kurasa tangan.

Damn! Aku jadi ingat film horror yang ku tonton tadi.

Dengan sigap ku jauhkan tanganku dari benda yang dingin itu, berbalik kembali mencari tombol lampu.

Dalam kondisi gelap aku mencari dan mencari. Hingga aku menemukan sesuatu yang basah, mungkin lengket. Aku tak bisa menebaknya kali ini. Baunya amis.

Kini ketakutan mulai menguasai diriku. Aku bergetar, takut dengan psikopat. Ya, tadi aku dan Rani menyempatkan diri menonton sinema horor yang baru saja tayang. Judulnya "Psychopat Life." Kau pasti tahulah bagaimana cara hidup orang psikopat.

Pikiran aneh mulai menggerayangi diriku yang mengira akan segera binasa dengan cara yang tak biasa.

Bagaimana jika orangtuaku habis dibunuh oleh psikopat gila, lalu akulah korban selanjutnya?

Bagaimana jika nanti aku diamputasi tanpa bius oleh psikopat ini? Dan, bagaimana jika isi kulkasku nantinya akan dipenuhi oleh potongan-potongan kecil tubuh ayah dan ibuku?

Dengan secuil keberanian, kutepis lamunan yang membuat beban. Kuberanikan diri untuk mencari tombol lampu lagi dan lagi.

Dan akhirnya aku temukan. Aku dapat menemukannya kali ini.

Tanpa ragu kutekan tombol itu dan...

BYARRRRR!!!!

Air yang entah darimana asalnya tiba-tiba tumpah, mengalir di sela-sela pipi dan wajah. Oh god, aku hampir kehilangan napas.

"Sholat atau rotan?" tanya ibu, masih dengan senyumnya yang menyeringai.

Aku terdiam sebentar dan bangun dari ranjang--tempat bermimpi horor tadi. Kuraih sendal bulu, lalu beranjak pergi untuk berwudhu.

Dan sialnya, di kamar mandi aku masih mengingat mimpi terkutuk yang barusan dialami. Terlihat nyata,namun kuharap fana--hanya sebatas fatamorgana. Semoga saja.

Sayup-sayup kudengar suara, ini bukan suara mengerikan itu, melainkan suara merdu, suara seruan yang ditunggu-tunggu. Suara itu berbunyi dari bilik masjid.

Suara merdu, entah suara siapa.

"Hayya 'alash sholaah, Hayya 'alash sholaah... ."

Uh, aku betah disana, berpetualang di setiap seruan yang dia kumandangkan.

Adzanmu indah, mungkin rupamu lebih sumringah.

Aku berlama disana--menghayati setiap kata yang ia ucap, membuat semangatku bertambah untuk sholat. Dia yang entah siapa. Yang aku kagumi suaranya.

🐣🐣🐣

Kali ini berbeda, seorang Lolo yang sering terlambat kini menjadi Lolo si pemimpi hebat. Semburat senyum lebih sering kusematkan lewat wajah, sangar seolah musnah.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 17, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Obfuscate [HIATUS] Where stories live. Discover now